Karena
tidak adanya batas antara maya dan nyata, hidupku menjadi rumit tetaapi
sepadan.
Segala
kejadian yang ku alami menjadi hal yang tak bisa kulupakan.
Segala
rasa. Senang, sedih, hampa, hancur. Segalanya menjadi nyata.
-----------------
“Negara adalah
sebuah organisasi……..”
“Hhhh…” Aku
menghela nafas karena bosan. Pelajaran yang sudah kupelajari semalam kini
dijelaskan oleh guruku yang sedang menulis di atas papan putih. Sebenarnya aku
salut akan kemampuannya dalam mengajar. Menulis sembari menjelaskan bukanlah
kemampuan yang bisa dimiliki oleh sembarang orang.
Ku ambil
tabletku dari bawah kolong bangkuku dan kunyalakan. Dari pada aku mengantuk
lebih baik aku surfing di dunia maya dan berperan kembali menjadi seorang
stalker.
Kubuka
salah satu akun social media-ku dan kuketikkan pada kolom search ‘Reyvan
Octario’. Sudah sejak lama aku mengaguminya, sayangnya dia sama sekali tidak
mengenaliku.
Awalnya,
perasaanku hanyalah sebuah kekaguman biasa karena melihatnya meng-cover dance
dari sebuah boy band korea terkenal yang kebetulan sangat kukagumi. Memang
banyak temanku yang sama-sama merupakan K-Poppers dan bisa meniru dance dari
boy-band itu, tetapi entah mengapa saat gathering tahun lalu, saat aku
melihatnya bergerak lincah mengikuti irama lagu, aku tersihir.
Aku
mengetahui alamat social medianya dari kartu nama yang diberikannya saat
meminta dukungan. Hanya saat itu saja aku melakukan kontak langsung dengannya.
Setelah itu, aku hanyalah seorang stalker. Meskipun hanya lewat dunia maya, aku
tak berani melakukan kontak apapun dengannya, aku takut akan penolakan.
Dari yang
awalnya hanya perasaan kagum, berkambang menjadi perasaan suka yang sangat
dalam. Bahkan mungkin aku sudah jatuh lebih dalam lagi pada pesonanya.
Sejak itu
juga, aku tak pernah melewati gathering yang mengadakan lomba cover dance untuk
melihatnya. Bedanya dari gathering pertama kali aku melihatnya,
gathering-gathering lainnya aku tak pernah berbicara ataupun melakukan kontak
lain dengannya. Meskipun aku ingin, aku takut.
‘Ku kirimkan rinduku padamu lewat mentari tengah hari.
Tetapi rinduku tak pernah tersampaikan. Mentari itu selalu terbenam.’
Ini adalah
salah satu alasan mengapa aku menyukainya. Tulisan-tulisan pada social medianya
selalu mampu melelehkan hatiku. Tulisannya seakan-akan ditujukan padaku
seorang. Meskipun aku sadar dia tak mengenalku, sekali-sekali menipu diri tak
apa.
‘Ku lihat sosokmu di antara sosok-sosok asing di
sekitarmu. Bercahaya, bersinar. Ingin ku raih dirimu, bintang kecilku.’
Hatiku
menghangat. Kata-katanya selalu membuatku melayang dan lupa akan cara berpijak.
Jika ada yang bertanya apa alasanku menyukainya, sedangkan berbicara padanya
pun aku tak pernah. Aku memiliki banyak sekali alasan. Disisi lain, aku tak
memiliki satu alasanpun. Mengertikah maksudku?
Fal_A
“Regina!”
Aku menoleh
pada asal suara namaku di lontarkan. Sahabatku, Tiara.
“Ada apa?”
“Nanti ada
waktu? Nonton yuk.”
“Ya udah,
ketemuan aja langsung di bioskop aja ya.”
“Jam 4,
ok?”
Tiara
berlalu karena tanda jam istirahat berakhir berbunyi. Kelas kami memang
berbeda, bisa dikatakan sangat berjauhan.
Aku kembali
ke dalam kelasku dan duduk di bangku. Kutatap layar tabletku yang menampakkan
wajah tampannya. Foto yang di pampangnya di akun social medianya. Foto dirinya
dengan latar belakang orang berlalu lalang. Lonely.
Fal_A
“Ma! Egi
berangkat ya.”
Tanpa
menunggu jawaban, aku mengambil jaket yang tersampir di sandaran sofa ruang
tamu rumahku dan keluar dari rumah. Ku putar kunci kontak motor otomatisku dan
aku berlalu.
Rumahku dan
bioskop tempatku akan menonton dengan Tiara memang berjauhan. Jadi sangat tidak
mungkin aku menggunakan angkutan umum ke sana. Di daerahku, angkutan umum
jarang bisa di temukan.
Saat sudah
setengah perjalanan, aku merasakan ada yang tidak beres dengan motorku. Rasanya
lebih berat. Ku sisikan motorku dan aku turun untuk melihat apakah ada yang
salah, dan ternyata ban bagian belakang motorku kempes. Sangat kempes.
“Uuunnggghhhttt”
Aku mengerang kesal dan mengaruk-garuk lengan kiriku.
Kuarahkan
pandanganku ke sembarang arah, berharap dapat menemukan bengkel yang dekat.
Sedang asik memperhatikan sekitar, pundakku di tepuk. Aku menoleh ke arah kanan
dan melihat seorang laki-laki masih mengenakan helm dan jaket kulit. Aroma
tubuhnya yang maskulin sangat tercium.
“Di sana
ada bengkel.”
Dia
menunjuk tepat ke seberang jalan di mana motorku ku berhentikan. Aku
mengernyitkan keningku heran. Mengapa tadi aku tidak melihatnya?
“Terima
kasih.”
Aku
mengangguk dan berniat menyalakan motorku lagi saat aku menyadari dia memarkirkan
motornya tepat di hadapan motorku.
“Jangan
dinyalakan.” Ujarnya. “Nanti kalau kamu kendarai motornya ke sana, ban mu bisa
sobek. Tenteng saja.”
Aku
menatapnya dengan tatapan polos.
“Berat.”
Dia membuka
kaca helmnya dan memutar matanya.
“Sini, aku
yang tenteng. Kamu bawa motorku ke seberang.”
Dia
menyerahkan kunci motornya ke arahku. Tetapi aku hanya terdiam menatap
wajahnya. Bukan, bukan karena ia tampan. –Oke, dia memang tampan. Sangat.-
Bukan juga karena dia Chinese sepertiku. Tetapi karena wajahnya hampir setiap
waktu ku lihat. Saat aku membuka laptop. Saat aku menggunakan telepon genggam,
saat aku memainkan tablet.
“Kamu bisa
kan bawa motorku? Jenisnya sama kok.”
Suaranya
memecahkan kekagetanku, dengan tergagap aku mengiyakan pertanyaannya dan
mengambil kunci motor yang disodorkannya. Dia segera menenteng motorku ke
seberang dan aku membawa motor miliknya.
Pemilik
bengkel yang kudatangi menanyakanku apakah aku ingin menambal ban saja atau
sekalian mengganti ban.
“Ganti ban
aja, bang. Lama kalau di tambal.”
Cowok di
sebelahku mengerutkan keningnya dan menatapku.
“Tapi
diganti jadinya lebih mahal.”
Aku
mengangkat bahuku.
“Nggak apa,
lagi cepet-cepet nih.”
“Neng, ini
kapan terakhir di service?”
Aku
mengangkat bahuku kembali.
“Nggak tau
deh, dua bulan yang lalu kali.”
“Udah harus
di service ini, neng. Kalau nggak bisa turun mesin.”
Aku kembali
mengerang frustasi.
“Di sebelah
bisa kok, neng. Di sebelah ada dealernya merk motor mbak. Di sana bisa, kok.”
Cowok di
sebelahku menepuk bahuku dan aku menoleh.
“Mau kemana
emang?”
“Ke
bioskop, bentar lagi telat nih.”
“Yaudah,
aku yang anter. Nggak akan ada yang marah kan?”
Aku
menatapnya takjub. Pertanyaan apa itu? Bolehkah aku berharap?
“Nggak kok.
Nonton sama sahabat.”
“Ya udah,
aku ikut nonton aja kalau gitu. Biar bisa antar ke sini lagi nanti.”
Dia
tersenyum. Ya Tuhan. Mengapa kau ciptakan makhluk yang memiliki senyum seindah
ini? Dan apakah tadi aku tidak salah dengar? Dia mau mengantarkanku kembali ke
sini? Jackpot!!
Cowok itu
mengantarkanku pada dealer di sebelah bengkel aku mengganti ban dan kami pergi
ke bioskop di mana Tiara sudah menungguku.
Saat sampai
di sana, Tiara menatapku dengan sebelah alisnya yang terangkat. Aku sangat tahu
apa yang dipikirkannya. Aku hanya mengedipkan sebelah mataku sembari menaruh
telunjuk kananku di depan bibir.
Dia
membayariku tiket bioskop dan mentraktir kami berdua untuk makan. Dia duduk di
seberang kami berdua. Selama makan, entah berapa kali Tiara menyenggol-nyenggol
lenganku dengan sikunya. Aku yakin dia ingin penjelasan, tetapi dia masih bisa
meminta penjelasan esok hari. Jadi aku hanya membalasnya dengan lirikan tajam
di setiap sodokan mautnya.
Setelah itu
kami pulang. Memang tujuan utama kami hanya untuk menonton. Dia mengantarkanku
kembali ke dealer di mana aku menaruh motorku untuk diservice.
“Ehm, dari
tadi dia belum kenalan.” Ujarnya sebelum kami sama-sama pulang.
“Regina.”
Aku terkejut dengan keberanianku sendiri saat menjulurkan tanganku. Aku tak
menyangkan bisa mengajaknya berkenalan secara langsung seperti ini.
“Reyvan.”
Dan senyumnya membuatku melayang entah untuk ke berapa kalinya.
.
Sejak saat
itu kami terus berhubungan via sms. Memang saat itu kami saling menukar nomor
telepon. Hingga suatu hari dia mengajakku untuk pergi ke suatu tempat. Dia
menjemputku di rumah dan kami pergi dengan motornya. Setelah kurang lebih satu
jam perjalanan kami sampai di pesisir pantai. Saat itu sore jadi kamu dapat
melihat matahari terbenam dengan indahnya.
“Kau tahu.”
Ucapnya perlahan. “Aku jatuh cinta pada seorang gadis.”
Dia
menatapku dengan dalam. Hatiku terlonjak gembira, apakah aku gadis itu?
“Sudah satu
tahun ini aku jatuh cinta padanya.”
Dan pada
saat itu juga hatiku melengos. Sesuatu seperti pisau serasa menusuk jantungku.
Karena pada saat itu, kami baru satu bulan benar-benar berteman.
“Dan kau
memberitahuku, karena…?”
Aku mencoba
menjaga perasaanku agar tidak meledak saat itu juga.
“Aku selalu
melihatnya menontonku di setiap kontes yang kuikuti. Sosoknya selalu berbeda
dari yang lain. Tatapannya sangat berbeda.”
Dia kembali
menatapku dengan tatapan yang sulit ku deskripsikan.
“Gadis itu
cantik, manis.”
Dia
tersenyum. Aku tak bisa mengingkari bahwa aku sangat menyukai senyumnya.
“Dan gadis
itu kau.”
.
No comments:
Post a Comment