Ketika sebuah perasaan indah sudah mulai tumbuh di relung hati
Siapakah yang bisa menolak
Ketika perasaan hangat muncul setiap melihatnya
Apakah perlu menhindari perasaan sendiri
Ketika rasa takut di tolak muncul
Ketika takut akan retaknya persahabatan yang sudah dibina selama bertahun-tahun
Apakah mungkin untuk menyembunyikan perasaan ini
Kendati perasaan ini bukanlah terlarang
-------------------------------
Aku baru melangkah keluar dari ruang club musik ketika ponsel dalam saku jaketku bergetar dengan panjang. Sedikit menghela nafas aku merogoh saku jaketku yang lumayan dalam dan mengangkatnya tanpa perlu mengecek siapa yang menghubungiku. Sudah bisa kutebak siapa yang menggangguku dengan telepon-telepon tak pentingnya di jam-jam seperti ini.
"Apa, Rik?" Aku mencoba membuat suaraku sesantai dan sesabar mungkin. Menyembunyikan fakta bahwa saat ini aku sedang sangat kesal.
"Temenin~"
Suara manja yang dia tahu, takkan bisa kutolak.
"Lagi dimana?"
"Cafe depan sekolah."
Tanpa mengucapkan apapun lagi, aku merogoh sakuku dan mengeluarkan kunci Audi hitamku. Butuh waktu sekitar sepuluh menit bagiku untuk sampai di tempat yang dia maksudkan. Sekolah kami memang berbeda beberapa blok. Kami dekat karena rumah kami yang bersebelahan. Apalagi beranda kamar kami yang berhadapan.
"Shaa!" Dia melambai-lambaikan tangannya dengan semangat saat aku baru memasuki cafe itu.
Prilakunya itu membuat beberapa pengunjung cafe yang lain menatap dia dengan pandangan yang sekikit -eerr- seduktif. Aku kembali menghela nafasku. Wajahnya yang manis dengan lesung pipi yang menambah kesan imut pada wajahnya yang putih memang mengundang tatapan orang yang seakan ingin melahapnya. Kadang aku berfikir, sebenarnya yang perempuan itu aku atau dia?
Aku mendudukkan diriku tepat di sebelahnya karena dia memilih tempat di samping dinding yang memiliki sofa panjang yang menempel pada tembok.
"Udah lama?" Tanyaku berbasa-basi.
"Udaahh~ ni makananku udah abis." Aku memutar mataku saat mendengar nada bicaranya yang manja. Sebenarnya memang begitu setiap kali dia berbicara. Benar-benar imut.
"Sha.."
"Hmm?"
"Ngantuk." Setelah mengatakan itu dia menyenderkan kepalanya pada bahuku yang kembali membuatku memutar kedua bola mataku.
Ricky seperti anak anjing yang baru saja bertemu tuannya setelah seharian berpisah.
Anak anjing...
Aku membayangkan Ricky dengan telinga anjing yang imut dan ekor yang bergoyang goyang
Anak...
Blush.
Wajahku sukses memerah, dadaku berdebar dengan sedikit kencang. Hilangkan, hilangkan. Hapus pikiran kotor tadi.
Dengan sedikit ragu aku menggoyangkan bahunya.
"Pulang aja gimana? Masa mau tidur disini?"
Dia menatapku dengan pandangan seperti anak anjing yang...
Blush.
Bisakah dia tak selalu menggodaku seperti itu? Aku kembali bertanya-tanya. Siapa sebenarnya yang perempuan disini?
"Gendong~" Ucapnya manja. Aku hanya menatapnya dengan tajam dan dia segera merenggut dengan kesal.
Setelah membayar tagihan makanannya, aku mengantarnya pulang dengan audi hitamku. Setiap hari selalu seperti ini, aku seperti sopirnya saja.
Aku mengguncang pelan tubuhnya saat sampai di depan rumahnya.
"Rik... Bangun..."
"Uuhhmmm..."
"Hhh~" Menghela nafas kesal, aku keluar dari mobilku dan membuka pintu di sebelah kursi yang ditempatinya.
Dengan menggendong tubuhnya yang termasuk ringan, aku memasuki rumahnya yang sudah seperti rumah keduaku. Baru akan menaiki tangga, aku disapa oleh ibunya.
"Tasha? Maaf ya ngerepotin lagi."
"Nggak apa, tante. Oh ya tante, Ricky udah makan tadi, jadi nanti nggak usah dibangunin ya. Kasian kayaknya dia capek abis ekstra tadi."
Ibunya hanya tersenyum dan melanjutkan langkahnya entah kemana.
Aku membaringkan Ricky dan memandang wajah manisnya.
"Salah ya aku jatuh cinta sama kamu, Rik?"
Aku mengecup bibirnya dengan perlahan dan keluar menuju rumahku sendiri yang tepat berada di sebelah rumahnya.
Tanpa menyadari bahwa mata berwarna coklat muda terbuka dan tangan dari pemilik mata itu menyentuh bibirnya pelan yang sehabis dikecup oleh sahabatnya sendiri.
Tersenyum miris.
"Salah ya aku kalau juga jatuh cinta sama kamu, Sha. Sayangnya aku terlalu takut untuk menyatakan perasaanku."
Malam itu dihabiskan oleh keduanya dengan perasaan sepi yang sama.
Perasaan mereka yang saling membalas, tetapi terlalu takut untuk merusak hubungan indah yang sudah mereka jalin bahkan semenjak mereka belum bisa berbicara.
Perasaan takut kehilangan yang sama, yang sama-sama menyiksa keduanya.
Perasaan saling menghargai, saling takut untuk menyakiti.
No comments:
Post a Comment