“Ethan…” Gumamanku
teredam oleh hujan dan Guntur. Dihadapanku, terlihat jelas punggungnya
yang tegap. Baju yang dikenakannya melekat pada badannya, menyetak
tubuhnya yang terukir indah. Rambut coklat gelap yang biasanya
berantakan namun memperindah pesonanya kini melekat pada kepalanya,
basah.
“Ethan!” Kali ini aku berseru, berharap agar dia berbalik menghadap padaku. Kuasumsikan dia tak mendengarku karena dia tak bergeming sedikitpyn. Perlahan kudekati dirinya, selangkah demi selangkah kutempuh. Sebuah kilatan cahaya melintasi mataku dan secara reflek kututup mataku. Aku berteriak ketika suara nyaring sang petir mengejutkanku. Saat debar jantungku teratasi, kubuka mataku dan berniat melanjutkan langkahku.
Dia tepat dihadapanku. Ethan menatapku. Heran terbaca dari matanya.
Aku tersenyum. Selembut yang kubisa.
Dari sudut penglihatanku, kulihat tangannya bergerak hendak menjangkauku. Tangannya mengarah pada sisi kiri leherku dan membelainya lembut. Tangannya hangat, meskipun lama berada ditengah-tengah hujan. Sedikit kumiringkan kepalaku, menikmati belaiannya. Mataku menatap mata hitamnya dengan intens dan dia tersenyum.
“Apa yang kau lakukan disini?” Suaranya yang lembut menyapa telingaku. Aku terpejam sebelum memberinya pertanyaan yang sama. “Apa yang kau lakukan disini?” Kubuka kembali mataku saat kurasakan belaiannya berhenti dan tangannya menjauh. Kembali ke sisi tubuhnya.
“I love rain. And you know that.” Dia menengadah, tak peduli akan hujan yang mengguyur wajahnya dengan keras. Dia kembali menatap wajahku sebelum berkata, “So, what are you doing here?”
“I love you, and you know that.” Aku tersenyum, menyentuh sisi wajahnya dengan lembut. Dan dia membalas senyumku.
“Tapi kamu benci hujan. It just makes your skin look pale. I remember your word back then.” Dia berujar. Senyumku semakin lebar menyadari dia mengingat perkataanku. Aku sadar, aku tahu, dia tak pernah tak menghiraukanku.
“But I love you, that is enough to make me love the rain.” Aku menatap bibirnya yang sedikit membiru. “Kau kedinginan. Ayo masuk.”
Dia menangkap pinggangku dan mendekatkan tubuhnya. Bibirnya menempel pada bibirku. Hanya menempel. Aku sedikit menahan nafas ketika dia memisahkan keduanya. Kurasakan wajahku menghangat dan kuyakin dia mengalami hal yang sama karena wajahnya merona.
“You are the most beautiful thing that happens in my life.” Dia berbisik. Wajahnya masih dekat dengan wajahku dan tangannya masih setia di pinggangku.
“Ethan…” Aku berbisik, tenggelam dalam matanya.
“Yes…”
“Your name gives me power. Namamu, puisi terindah bagi telingaku. Namamu, puisi terindah dalam hidupku. You teach me what love is, and you gave me strength.”
And we kiss.
We kiss under the rain.
We kiss beneath our love.
“Ethan!” Kali ini aku berseru, berharap agar dia berbalik menghadap padaku. Kuasumsikan dia tak mendengarku karena dia tak bergeming sedikitpyn. Perlahan kudekati dirinya, selangkah demi selangkah kutempuh. Sebuah kilatan cahaya melintasi mataku dan secara reflek kututup mataku. Aku berteriak ketika suara nyaring sang petir mengejutkanku. Saat debar jantungku teratasi, kubuka mataku dan berniat melanjutkan langkahku.
Dia tepat dihadapanku. Ethan menatapku. Heran terbaca dari matanya.
Aku tersenyum. Selembut yang kubisa.
Dari sudut penglihatanku, kulihat tangannya bergerak hendak menjangkauku. Tangannya mengarah pada sisi kiri leherku dan membelainya lembut. Tangannya hangat, meskipun lama berada ditengah-tengah hujan. Sedikit kumiringkan kepalaku, menikmati belaiannya. Mataku menatap mata hitamnya dengan intens dan dia tersenyum.
“Apa yang kau lakukan disini?” Suaranya yang lembut menyapa telingaku. Aku terpejam sebelum memberinya pertanyaan yang sama. “Apa yang kau lakukan disini?” Kubuka kembali mataku saat kurasakan belaiannya berhenti dan tangannya menjauh. Kembali ke sisi tubuhnya.
“I love rain. And you know that.” Dia menengadah, tak peduli akan hujan yang mengguyur wajahnya dengan keras. Dia kembali menatap wajahku sebelum berkata, “So, what are you doing here?”
“I love you, and you know that.” Aku tersenyum, menyentuh sisi wajahnya dengan lembut. Dan dia membalas senyumku.
“Tapi kamu benci hujan. It just makes your skin look pale. I remember your word back then.” Dia berujar. Senyumku semakin lebar menyadari dia mengingat perkataanku. Aku sadar, aku tahu, dia tak pernah tak menghiraukanku.
“But I love you, that is enough to make me love the rain.” Aku menatap bibirnya yang sedikit membiru. “Kau kedinginan. Ayo masuk.”
Dia menangkap pinggangku dan mendekatkan tubuhnya. Bibirnya menempel pada bibirku. Hanya menempel. Aku sedikit menahan nafas ketika dia memisahkan keduanya. Kurasakan wajahku menghangat dan kuyakin dia mengalami hal yang sama karena wajahnya merona.
“You are the most beautiful thing that happens in my life.” Dia berbisik. Wajahnya masih dekat dengan wajahku dan tangannya masih setia di pinggangku.
“Ethan…” Aku berbisik, tenggelam dalam matanya.
“Yes…”
“Your name gives me power. Namamu, puisi terindah bagi telingaku. Namamu, puisi terindah dalam hidupku. You teach me what love is, and you gave me strength.”
And we kiss.
We kiss under the rain.
We kiss beneath our love.
No comments:
Post a Comment