“Maaf…” Aku
menatap matanya mencari kejujuran dan berharap menemukan kebohongan dalam
matanya. Sunggunh kusesali ketika kutemukan kejujuran yang sangatlah dalam.
Matanya memandang lurus pada milikku, yakin, tak ada kebohongan, sama sekali
tidak ada. Kenyataan bahwa segala yang dikatakannya benar, merobek jantungku.
Perutku bergejolak, hatiku mencelos. Sesak. Sakit.
“Kenapa?”
Aku bertanya lirih, mendongak untuk menatap langsung padanya. “Kenapa Sam?”
Kurasakan sebuah tetesan hangat mengaliri pipiku.
“Maaf.”
Untuk kesekian kalinya dia ulangi kata itu. Dari sudut mataku kulihat tangannya
yang terangkat perlahan menuju wajahku. Kurasakan sentuhan lembut pada pipiku
dan kupejamkan mataku saat kulitnya menyentuh milikku.
Menggeleng
perlahan, aku kembali membuka mataku. “Kamu nggak sepenuhnya salah.” Dengan
sekuat tenaga kutahan isakan yang nyaris keluar. Please, saat ini saja, aku tak
ingin terlihat lemah.
“Jangan
menangis.” Suaranya yang lembut menyentuh gendang telingaku. Tangannya yang
semula bermuara pada pipi kiriku, bergerak turun menuju daguku. Dengan lembut
dia mengangkat wajahku. Secara tidak langsung memintaku untuk menatap langsung
pada kedalaman matanya yang selalu mampu menyeretku dari duniaku. “Seseorang
yang sepertiku bukanlah seseorang yang pantas untuk kau tangisi.”
Aku tersentak, memandang heran padanya. “You know I love you. I would gladly give you my tear, even my life for you.” Aku berhenti sebentar, menyadari semakin banyak tetesan yang mengalir menuruni kedua pipi mulusku. “You have all of my heart.”
“Ssssttt…”
Kembali tangannya bergerak menghapus tetesan-tetesan hangat pada wajahku,
lembut.
“You know I
love you too, back then.” Dia menatapku dengan pandangan menyesal terbaiknya. “For
now… I don’t know.” Dia menatapku kembali, lemah.
“But why?!
Don’t you say you don’t know.” Dengan nada sedikit memaksa, isakan pelan mulai
keluar dari bibir mungilku.
“I’m so
sorry.” Aku merasakannya. Aku merasakannya kembali. Sensasi tusukan ribuan
pedang pada dada kiriku. Sensasi perutku yang bergejolak dengan sangat tidak
nyaman. “I just don’t know.”
“Finally,
you break my heart.” Aku menunduk, membalikkan badanku dan bersiap untuk pergi.
Menyadari tak ada hal lain yang bisa lebih meremukkan hatiku.
Tanpa
kuduga, tarikan yang lumayan kuat pada tangan kananku sukses membawaku pada
pelukannya yang hangat.
Terkejut,
aku mendongakkan wajahku, menatapnya untuk mencari penjelasan.
Dia
menciumku. Dia menciumku dengan sangat lembut dan aku semakin tak mengerti akan
apa yang diinginkannya.
Tetapi satu
hal yang sama-sama kami sadari.
This is our
last kiss.
Tanpa
menyadari hal ini akan lebih memperdalam luka yang sudah parah pada hati kami
masing-masing.
And then
that day, the tears from the sky fell. It rain.
Seakan akan
mengerti akan kesedihan dua insane yang tak bisa bersama lagi.
No comments:
Post a Comment