Indah ketika kulihat senyumnya, andai aku yang membuatnya
tersenyum seperti itu, dan aku tahu itu sangatlah mustahil. Bibir tipisnya yang
terbuka ketika tertawa, sorot matanya yang hangat, ingin aku memilikinya. Kacamata
tipisnya, membuatnya tampil lebih dari seharusnya. Aku sadar, aku...
Mencintainya... Hanya keajaibanlah yang dapat menolongku, hanya keajaibanlah
yang dapat membuatku memilikinya. Karena cintaku, hanyalah sebuah cinta
terlarang.
xxxXXXxxx
Hari pertamaku menginjakkan kaki disini setelah liburan
panjangku, hari - hari yang kutunggu. Bukan karena aku senang belajar, tentu
saja bukan. Tetapi karena seseorang yang telah mencuri hatiku sejak hari
pertama aku menginjakkan kakiku disini. Seseorang yang takkan pernah bisa
kugapai, seseorang yang bukan milikku, seseorang yang kucintai, dan mirisnya,
dia sahabatku. Sekolahku yang berasrama membuatku harus meninggalkan rumahku selama
beberapa bulan, dan aku sangatlah tidak berkeberatan. Benar-benar bukanlah
keputusan yang salah aku memilih sekolah ini, Sekolah Menengah Atas berasrama
campuran. Dan disinilah aku bertemu dengannya, dan bersahabat dengannya.
Kulangkahkan kakiku menuju kamar 201, kamar yang akan
kutempati mulai hari ini hingga lima bulan kedepannya. Kulihat lorong asrama
sekolahku masih kosong, memang masih terlalu cepat untuk kembali kesini,
seharusnya besoklah hari aku kembali. Tetapi aku sudah tidak sabar untuk kembali,
meskipun apa yang kucari belum ada. Dan kembali, aku harus bersabar. Sepertinya
memang bersabarlah yang sudah kulakukan setahun belakangan, sejak aku
mengenalnya. Melihat sorot matanya, terperangkap didalamnya. Kutatap pintu
kamar asramaku, angka 201 terpampang jelas dari tempatku berdiri. Kurogoh
sakuku guna mengambil kunci yang terlebih dahulu diserahkan oleh resepsionis
sekolahku. Kuputar knop pintu kamarku, dan terpampanglah kamarku yang rapi dan
bersih. Aku tersenyum, membayangkan beberapa hari kedepan kamarku dan kamarnya takkan
se-rapi sekarang. Kuseret koperku masuk kedalam kamar dan kubongkar isinya.
Sebagian besar isinya didominasi oleh baju bajuku.
Segera aku menghampiri lemari bajuku dan kuisi dengan baju
baju yang sudah kukeluarkan terlebih dahulu. Tak lama kemudian koperku sudah
kosong, seluruh isinya sudah kupindahkan kelemariku. Kutatap lemari yang berada
tepat diseberang lemariku. Kuyakin isinya masih kosong. Aku melangkahkan kakiku
menuju lemari tersebut dan kubuka dengan sebelah tanganku. 'Tidak terkunci.'
Pikirku. Setelah kubuka kuhirup harum yang terpancar dari dalamnya.
"Caramel" gumamku tak sadar. Aroma khasnya ternyata masih melekat
dilemarinya. Harum yang kurindukan satu setengah bulan ini.
Kembali kualihkan pandanganku kearah ranjangku, sebuah koper
dan dua buah tas masih belum kubongkar. Kuputuskan untuk segera membereskannya
agar besok aku memiliki waktu lebih banyak untuk mengamatinya. Dengan cekatan
aku mengeluarkan novel-novel serta komik komik yang sudah kuputuskan untuk
kubawa. Kuusahakan untuk menatanya serapih mungkin diatas meja belajar yang
memang sudah ada. Setelah selesai dengan koleksi novel dan komikku, aku beralih
pada buku pelajaranku serta buku buku tulis yang masih kosong. Kembali kutata
dibawah rak tempat kususun novel dan komikku dimeja belajarku. Satu koper dan
dua tas sudah kosong, tinggal satu koperku lagi yang belum tersentuh.
Kubuka penutup koperku dan kukeluarkan isinya, parfum, sabun
mandi, handuk, selimut, dan peralatan sehari hari yang lain. Setelah terlihat
kosong, kembali kubuka resleting yang tak letaknya agak tersembunyi. Dari sana
kukeluarkan sebuah terompet berwarna perak. Terompet sederhana yang sangat
kucintai(?).
Setelah yakin barang-barangku sudah selesai kubereskan,
kutumpuk tas dan koperku jadi satu disudut ruangan dan kutinggalkan begitu
saja. Kutatap dan kuraih jaketku yang kugantung dipintu dan kurogoh sakunya,
dari sana kuambil Handphoneku yang sempat terabaikan selama beberapa saat. Saat
kulihat layarnya, tenyata ada tiga buah pesan yang masuk selagi aku
beres-beres.
Yang pertama, dari adikku.
Kak, laptop kakak ketinggalan dikamarku. Besok ya aku anter.
Ah ya, aku melupakan laptopku. Kulanjutkan membuka pesan
yang selanjutnya. Dari ayahku.
Jangan lupa makan.
"Hhhh" Aku menghembuskan nafas jengah, maklum
saja, ayahku membesarkan aku dan adikku selama ini sebagai single parent. Lalu
kulihat satu pesan lagi, tanpa sadar aku menutup mata sejenak sembari berharap.
Saat kubuka, tanpa sadar bibirku membentuk sebuah senyum, senyum senang tentu
saja.
Dari Andika.
Kapan lu ke asrama? Gua besok ya, agak siang kayaknya.
Tak seperti pesan yang lainnya yang hanya kubiarkan, pesan
dari room mateku ini segera kubalas.
Udah siap mamen. Gua udah dari tadi nangkring, I'll wait you
bro.
Sebelum kukirim sempat kuperiksa pesanku beberapa kali,
berharap tak ada kata-kata yang janggal. Setelah puas segera kukirim dan
kuletakkan kembali hapeku disaku jaketku yang segera kukenakan. Kulirik jam
tangan yang bertenger di lengan kiriku, menunjukkan pukul 07.00. Kuputuskan
tidur saja dan melewatkan makan malam. Berhubung asrama belum dibuka secara
resmi, yang adalah dua hari lagi, kafetaria asrama belum dibuka juga, sehingga
mengharuskanku mencari makanan diluar, dan aku sedang malas.
Kurebahkan tubuhku tanpa mengganti baju dan membersihkan
diri, tak memerlukan waktu lama akupun mulai terbang ke alam mimpi.
---
Aroma caramel yang khas menyapa hidungku, segera kualihkan
pandanganku kebelakang dan mendapati room mateku sedang berusaha memasukkan koper
koper dan tas tas yang dibawanya. Dengan langkah yang kelewat semangat aku
meninggalkan posisi semulaku dipinggir jendela.
"Perlu gua bantu An?" Aku menghampirinya dan
mengambil salah satu tumpukan tasnya.
"Thanks" Ujarnya singkat.
"Banyak banget lu bawa barang? Lengkap yee?"
Ledekku.
Aku dengan mudahnya memindahkan tasnya yang tadi kuambil
kesebelah lemarinya. Kuperhatikan dirinya yang masih bersusah payah membawa
satu tumpukan tasnya. Aku yakin dia dalam kondisi lelah, karena dia bukanlah
seorang yang lemah apalagi dia juga laki-laki sepertiku.
"Dari pada lu, apa-apa pasti ketinggalan dah."
Jawabnya tak mau kalah.
Aku hanya tersenyum, merasa tak perlu menjawabnya. Setelah
berhasil menyeret tumpukan tasnya kesebelah tasnya yang lain yang tadi
kuletakkan, dia segera menghempaskan tubuhnya keranjang disebelah ranjangku.
Ranjangnya.
"Kagak lu beresin bro?" Tanyaku heran, setauku dia
tipe orang yang apik dan peduli akan barang-barangnya.
"Gua capek bos, besok aja dah, juga masih lagi dua hari
asrama mulai." Setelah berkata demikian, dia mengarahkan tangannya kearah
kacamata berbingkai putih-hitam tipisnya dan meletakkannya dimeja sebelah
ranjangnya. "Eh, Dit. Tumben lu banyak bawa novel, biasanya komik aja lu
bawa banyak."
Dia menyelipkan nama panggilanku, nama panggilan yang hanya
dia yang menggunakannya. Di ambil dari Raditya. Teman-temanku yang lain
terbiasa menggunakan nama panggilan 'Rat', dan entah mengapa aku lebih suka
nama panggilan yang digunakannya.
"Pengen dah, kagak tau ngapa." Jawabku sekenanya.
Jawaban sebenarnya adalah karena Andika lebih menyukai novel
dari pada komik. Dan tak mungkin kukatakan hal tersebut kan? Aku masih ingin
bersahabat dengannya.
"Eh, lu tau kagak kapan Micky sama Dharma kesini?"
Dia menyebutkan dua nama penghuni kamar yang terletak tepat diseberang kamar
kami. 202. Mereka juga sahabatku, sahabat kami.
"Belom dapet kabar gua mah, kan lu yang biasanya aktif
nanya nanya noh?" Aku membalikkan petanyaannya. Sebenarnya aku ingin
mengetahui sesuatu, yang mungkin bisa membuatku berbesar hati.
"Lupa gua nanya mereka, cuma lu aja dah gua tanya
kemaren, ama beberapa temen laen." Dengan santai dia menjawab.
'Ama beberapa temen laen' bukanlah jawaban yang kukehendaki.
Dengan teramat sadar kurasakan dadaku melengos, kosong rasanya. Dan sepertinya
aku tahu siapa yang dimaksudkannya, tanpa aku harus bertanya.
"Oooh"
"Eh, gua mau tidur yak, beneran dah ni gua capek
banget. Bangunin nanti ya, pas lu mau nyari makan." Tanpa menunggu
jawabanku dia segera menarik selimutnya dan menutup matanya.
Setelah beberapa saat, setelah aku yakin dia tertidur
sepenuhnya, aku mendekatinya. Memandanginya dengan posisi masih berdiri. Tanpa
berani menyentuhnya. Saat tertidur dia benar benar terlihat rapuh, lemah.
Seakan-akan jika kusentuh aku akan merusaknya. Dan memang, aku hanya bisa
menjadi perusak baginya, dan aku sadar perasaanku ini hanya bisa kusimpan,
tanpa ada hal lain yang bisa kulakukan untuk mendapatkannya. Dengan teramat
sadar akupun mengetahui, dia bukanlah sepertiku, yang memiliki orientasi
seksual yang melenceng, aku tahu sepenuhnya bahwa dia 'lurus'.
Dengan perlahan aku mendudukkan diriku dimeja sebelah
ranjangnya, setelah terlebih dahulu memindahkan kacamatanya yang dia letakkan
disana. Dengan posisi seperti ini aku dapat lebih leluasa melihatnya. Menatap
wajahnya. Tanpa sadar aku tersenyum saat melihat matanya yang setengah
terpejam, bibirnya yang setengah terbuka. Ekspresinya benar-benar polos dan aku
takkan pernah bosan melihatnya. Aku yakin aku takkan pernah bosan.
Dan kembali kurasakan sesak didadaku, saat kuteringat aku
takkan pernah bisa memilikinya, andaikan aku perempuan, andaikan aku tak
tertarik padanya pada pandanganku yang pertama, andaikan , andaikan , andaikan.
Hanya itu yang bisa kupikirkan, dan kuyakini takkan pernah terjadi. Kuraih
dadaku dan kutekan tekan, berharap rasa perih yang kurasakan ini hanyalah
ilusi, berharap tusukan tusukan yang kurasakan menghujam dadaku ini segera
menghilang.
Tidak! Aku takkan menangis, aku tak boleh lemah, karena aku
tahu kelemahanku akan membuatku semakin merana menyimpan perasaan terlarangku
ini. Dan aku belum ingin menghapus perasaanku akannya. Aku masih ingin menkmati
perasaan ini. Aku masih ingin menikmati rasa sakitnya, menikmati perihnya.
Kembali kutatap wajahnya yang mulus tanpa cela, terukir bak porselen. Disatu
sisi, dia bisa terlihat tampan, sangat tampan, tetapi disisi lain, dia
terkadang bisa terlihat sangat manis, imut. Dan entah karena wajahnyakah aku
tertarik, atau karena hal lain aku masih belum mengerti, dan kuharap aku takkan
pernah mengerti.
Seringkali aku merasa takut akan perasaanku sendiri, takut
aku akan terjerumus lebih dalam lagi, aku takut aku tak bisa melepaskan
perasaanku suatu saat nanti. Tapi apa dayaku? Aku hanyalah manusia yang memang
lemah, haruskah kuakui aku lemah?
Tak ingin lebih menyiksa diriku dengan memandanginya lebih
lama lagi, kuputuskan untuk berjalan jalan diluar, setelah terlebih dahulu
meraih terompet kesayanganku. Kulangkahkan kakiku kearah taman yang memisahkan
asrama putra dengan asrama putri. Kududukkan diriku dibawah pohon mapple dan
kusandarkan punggungku pada pohon tersebut guna menemukan kenyamanan.
Kuperhatikan gemericik air yang berasal dari air mancur
dihadapanku, sukses membuatku sedikit tenang.
Wish I could put a spell on you
Wish I could make you feel like I do
Wouldn't that be sweet?
So magical
Kubiarkan telephone genggamku mendendangkan lagu Magical,
entah mengapa kurasakan lagu ini pas untukku. Lama kubiarkan lagu itu terus
berulang ulang, tak kuganti. Kupejamkan mataku, menikmati suasana damai yang
tercipta disekelilingku. Kubiarkan pikiranku terhipnotis oleh suara gemericik
air dan lagu yang kuputar. Perlahan-lahan, pikiranku tenggelam dan kutinggalkan
alam nyataku, kealam bawah sadarku. Tanpa kuhentikan handphoneku yang memutar
lagu tersebut. Yang kubutuhkan sekarang hanyalah kedamaian.
---
'Caramel?' Aku merasa aroma yang entah sejak kapan
sudah menjadi favoritku menyapa indra penciumanku. Tetap kupejamkan mataku, aku
takut untuk membuka mataku, takut yang kuhirup hanyalah ilusi. Tak lama
kemudian kurasakan sesuatu menyentuh lembut pipiku, tak menepuk, hanya
mengelus. Seakan sentuhan tersebut takut membawaku kembali ke alam nyata, yang
sebenarnya tak perlu dilakukannya. Kurasakan elusannya semakin lembut, dan
kurasakan perih dihatiku sedikit menutup. Jika ini hanyalah ilusi, beginikah
perasaanku seharusnya?
Nyaris aku mendesah kecewa ketika sentuhan tersebut terlepas
dari indra perasaku. Dan aku semakin yakin ini hanyalah ilusiku, karena yang
kutahu, yang memiliki aroma ini hanyalah dia. Dan kuyakin tak mungkin
dilakukannya. Belum hilang kekecewaanku, aku merasakan sesuatu menyentuh kepalaku,
mengelus rambut hitamku. Dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk tak membuka
mataku. Meski aku yakin ini hanyalah ilusi, aku tak ingin ilusi ini berakhir.
Meskipun hanyalah sebuah ilusi yang tak nyata, aku ingin menikmatinya,
menikmati sentuhan-sentuhan lembutnya.
Sesungguhnya ingin ku angkat tanganku, ingin kusentuh tangan
yang mengelus kepalaku ringan. Tetapi kembali ketakutanku akan hilangnya ilusi
yang kualami semakin kuat. Kubiarkan saja hal tersebut terjadi. Kembali
kekecewaan melandaku, saat tangan tersebut terangkat dari kepalaku. Tetapi
kembali kurasakan sentuhan pada pipi kiriku, tangan yang dingin. Entah mengapa
aku sangat yakin yang kurasakan bukanlah ilusi, tetapi rasa takutku begitu
kuat. Jadi tetap kubiarkan mataku terpejam, sebisa mungkin kuusir rasa tegang
yang sedari tadi menyapaku.
Tiba tiba... Musik yang tadi kuputar terhenti.
'Ah, sepertinya hpku mati' Aku berusaha berfikir
serasional mungkin, tetapi kembali pikiranku terusik ketika tangan yang berada
dipipiku bukannya terangkat melainkan aroma caramel yang kuhirup semakin kuat,
seakan mendekat. Dan tangan yang menyentuh pipiku hanya terdiam, tak mengelus
pipiku lagi. Kurasakan tangan kanan disebelah tubuhku tertindih tangan lain,
tangan yang sama dingin dan lembutnya seperti tangan sebelumnya. Dan tak bisa
kuingkari ketika jantungku berdegup kian kencang. Sekuat tenaga aku tetap
menutup mataku dan membuat posisiku terlihat sesantai mungkin.
Ilusi yang kurasakan kini benar-benar terkesan diluar akal
sehat, dan tetap ingin kuyakini sebagai ilusi saja. Tetapi disudut hatiku yang
terdalam, aku merasakan hal ini nyata. Kurasakan seseorang mendekati wajahku,
terasa hembusan nafasnya, dan kuhirup aroma favoritku, aroma caramel. Aroma
yang belum pernah kutemukan dari orang selain dirinya, aroma yang begitu khas.
Dan aku tersentak ketika ada sebuah sentuhan ringan yang
menyapa bibirku, lembut. Hanya sebentar. Lalu segala sentuhan yang kurasakan
menghilang, serta aroma favoritku yang dibawanya. Sesaat, kerja otakku serasa
berhenti, seakan ingin mengabadikan saat saat tadi. Dan kemudian kuberanikan
diriku membuka mata, tak ada seorangpun.
Kuusap wajahku, yang mungkin bisa ditemukan semburat lelah.
Kuperhatikan Hpku yang kuletakkan disebelahku, masih menyala, hanya lagunya
yang berhenti terputar. Mungkinkah...?
Aku bergumam, "Nggak mungkin....."
Bersambung...
-------------------------
Entah apa yang bikin aku nulis ginian
Terlalu stres kayaknya...
Ada saran? Comment please
Don't like? STAY AWAY!
No comments:
Post a Comment