^^ About Me ^^

Number 201 - Part 1


Indah ketika kulihat senyumnya, andai aku yang membuatnya tersenyum seperti itu, dan aku tahu itu sangatlah mustahil. Bibir tipisnya yang terbuka ketika tertawa, sorot matanya yang hangat, ingin aku memilikinya. Kacamata tipisnya, membuatnya tampil lebih dari seharusnya. Aku sadar, aku... Mencintainya... Hanya keajaibanlah yang dapat menolongku, hanya keajaibanlah yang dapat membuatku memilikinya. Karena cintaku, hanyalah sebuah cinta terlarang.

xxxXXXxxx

Hari pertamaku menginjakkan kaki disini setelah liburan panjangku, hari - hari yang kutunggu. Bukan karena aku senang belajar, tentu saja bukan. Tetapi karena seseorang yang telah mencuri hatiku sejak hari pertama aku menginjakkan kakiku disini. Seseorang yang takkan pernah bisa kugapai, seseorang yang bukan milikku, seseorang yang kucintai, dan mirisnya, dia sahabatku. Sekolahku yang berasrama membuatku harus meninggalkan rumahku selama beberapa bulan, dan aku sangatlah tidak berkeberatan. Benar-benar bukanlah keputusan yang salah aku memilih sekolah ini, Sekolah Menengah Atas berasrama campuran. Dan disinilah aku bertemu dengannya, dan bersahabat dengannya.

Kulangkahkan kakiku menuju kamar 201, kamar yang akan kutempati mulai hari ini hingga lima bulan kedepannya. Kulihat lorong asrama sekolahku masih kosong, memang masih terlalu cepat untuk kembali kesini, seharusnya besoklah hari aku kembali. Tetapi aku sudah tidak sabar untuk kembali, meskipun apa yang kucari belum ada. Dan kembali, aku harus bersabar. Sepertinya memang bersabarlah yang sudah kulakukan setahun belakangan, sejak aku mengenalnya. Melihat sorot matanya, terperangkap didalamnya. Kutatap pintu kamar asramaku, angka 201 terpampang jelas dari tempatku berdiri. Kurogoh sakuku guna mengambil kunci yang terlebih dahulu diserahkan oleh resepsionis sekolahku. Kuputar knop pintu kamarku, dan terpampanglah kamarku yang rapi dan bersih. Aku tersenyum, membayangkan beberapa hari kedepan kamarku dan kamarnya takkan se-rapi sekarang. Kuseret koperku masuk kedalam kamar dan kubongkar isinya. Sebagian besar isinya didominasi oleh baju bajuku.

Segera aku menghampiri lemari bajuku dan kuisi dengan baju baju yang sudah kukeluarkan terlebih dahulu. Tak lama kemudian koperku sudah kosong, seluruh isinya sudah kupindahkan kelemariku. Kutatap lemari yang berada tepat diseberang lemariku. Kuyakin isinya masih kosong. Aku melangkahkan kakiku menuju lemari tersebut dan kubuka dengan sebelah tanganku. 'Tidak terkunci.' Pikirku. Setelah kubuka kuhirup harum yang terpancar dari dalamnya. "Caramel" gumamku tak sadar. Aroma khasnya ternyata masih melekat dilemarinya. Harum yang kurindukan satu setengah bulan ini.

Kembali kualihkan pandanganku kearah ranjangku, sebuah koper dan dua buah tas masih belum kubongkar. Kuputuskan untuk segera membereskannya agar besok aku memiliki waktu lebih banyak untuk mengamatinya. Dengan cekatan aku mengeluarkan novel-novel serta komik komik yang sudah kuputuskan untuk kubawa. Kuusahakan untuk menatanya serapih mungkin diatas meja belajar yang memang sudah ada. Setelah selesai dengan koleksi novel dan komikku, aku beralih pada buku pelajaranku serta buku buku tulis yang masih kosong. Kembali kutata dibawah rak tempat kususun novel dan komikku dimeja belajarku. Satu koper dan dua tas sudah kosong, tinggal satu koperku lagi yang belum tersentuh.

Kubuka penutup koperku dan kukeluarkan isinya, parfum, sabun mandi, handuk, selimut, dan peralatan sehari hari yang lain. Setelah terlihat kosong, kembali kubuka resleting yang tak letaknya agak tersembunyi. Dari sana kukeluarkan sebuah terompet berwarna perak. Terompet sederhana yang sangat kucintai(?).

Setelah yakin barang-barangku sudah selesai kubereskan, kutumpuk tas dan koperku jadi satu disudut ruangan dan kutinggalkan begitu saja. Kutatap dan kuraih jaketku yang kugantung dipintu dan kurogoh sakunya, dari sana kuambil Handphoneku yang sempat terabaikan selama beberapa saat. Saat kulihat layarnya, tenyata ada tiga buah pesan yang masuk selagi aku beres-beres.

Yang pertama, dari adikku.

Kak, laptop kakak ketinggalan dikamarku. Besok ya aku anter.
Ah ya, aku melupakan laptopku. Kulanjutkan membuka pesan yang selanjutnya. Dari ayahku.

Jangan lupa makan.
"Hhhh" Aku menghembuskan nafas jengah, maklum saja, ayahku membesarkan aku dan adikku selama ini sebagai single parent. Lalu kulihat satu pesan lagi, tanpa sadar aku menutup mata sejenak sembari berharap. Saat kubuka, tanpa sadar bibirku membentuk sebuah senyum, senyum senang tentu saja.

Dari Andika.

Kapan lu ke asrama? Gua besok ya, agak siang kayaknya.
Tak seperti pesan yang lainnya yang hanya kubiarkan, pesan dari room mateku ini segera kubalas.

Udah siap mamen. Gua udah dari tadi nangkring, I'll wait you bro.
Sebelum kukirim sempat kuperiksa pesanku beberapa kali, berharap tak ada kata-kata yang janggal. Setelah puas segera kukirim dan kuletakkan kembali hapeku disaku jaketku yang segera kukenakan. Kulirik jam tangan yang bertenger di lengan kiriku, menunjukkan pukul 07.00. Kuputuskan tidur saja dan melewatkan makan malam. Berhubung asrama belum dibuka secara resmi, yang adalah dua hari lagi, kafetaria asrama belum dibuka juga, sehingga mengharuskanku mencari makanan diluar, dan aku sedang malas.

Kurebahkan tubuhku tanpa mengganti baju dan membersihkan diri, tak memerlukan waktu lama akupun mulai terbang ke alam mimpi.

---

Aroma caramel yang khas menyapa hidungku, segera kualihkan pandanganku kebelakang dan mendapati room mateku sedang berusaha memasukkan koper koper dan tas tas yang dibawanya. Dengan langkah yang kelewat semangat aku meninggalkan posisi semulaku dipinggir jendela.

"Perlu gua bantu An?" Aku menghampirinya dan mengambil salah satu tumpukan tasnya.

"Thanks" Ujarnya singkat.

"Banyak banget lu bawa barang? Lengkap yee?" Ledekku.

Aku dengan mudahnya memindahkan tasnya yang tadi kuambil kesebelah lemarinya. Kuperhatikan dirinya yang masih bersusah payah membawa satu tumpukan tasnya. Aku yakin dia dalam kondisi lelah, karena dia bukanlah seorang yang lemah apalagi dia juga laki-laki sepertiku.

"Dari pada lu, apa-apa pasti ketinggalan dah." Jawabnya tak mau kalah.

Aku hanya tersenyum, merasa tak perlu menjawabnya. Setelah berhasil menyeret tumpukan tasnya kesebelah tasnya yang lain yang tadi kuletakkan, dia segera menghempaskan tubuhnya keranjang disebelah ranjangku. Ranjangnya.

"Kagak lu beresin bro?" Tanyaku heran, setauku dia tipe orang yang apik dan peduli akan barang-barangnya.

"Gua capek bos, besok aja dah, juga masih lagi dua hari asrama mulai." Setelah berkata demikian, dia mengarahkan tangannya kearah kacamata berbingkai putih-hitam tipisnya dan meletakkannya dimeja sebelah ranjangnya. "Eh, Dit. Tumben lu banyak bawa novel, biasanya komik aja lu bawa banyak."

Dia menyelipkan nama panggilanku, nama panggilan yang hanya dia yang menggunakannya. Di ambil dari Raditya. Teman-temanku yang lain terbiasa menggunakan nama panggilan 'Rat', dan entah mengapa aku lebih suka nama panggilan yang digunakannya.

"Pengen dah, kagak tau ngapa." Jawabku sekenanya.

Jawaban sebenarnya adalah karena Andika lebih menyukai novel dari pada komik. Dan tak mungkin kukatakan hal tersebut kan? Aku masih ingin bersahabat dengannya.

"Eh, lu tau kagak kapan Micky sama Dharma kesini?" Dia menyebutkan dua nama penghuni kamar yang terletak tepat diseberang kamar kami. 202. Mereka juga sahabatku, sahabat kami.

"Belom dapet kabar gua mah, kan lu yang biasanya aktif nanya nanya noh?" Aku membalikkan petanyaannya. Sebenarnya aku ingin mengetahui sesuatu, yang mungkin bisa membuatku berbesar hati.

"Lupa gua nanya mereka, cuma lu aja dah gua tanya kemaren, ama beberapa temen laen." Dengan santai dia menjawab.

'Ama beberapa temen laen' bukanlah jawaban yang kukehendaki. Dengan teramat sadar kurasakan dadaku melengos, kosong rasanya. Dan sepertinya aku tahu siapa yang dimaksudkannya, tanpa aku harus bertanya.

"Oooh"

"Eh, gua mau tidur yak, beneran dah ni gua capek banget. Bangunin nanti ya, pas lu mau nyari makan." Tanpa menunggu jawabanku dia segera menarik selimutnya dan menutup matanya.

Setelah beberapa saat, setelah aku yakin dia tertidur sepenuhnya, aku mendekatinya. Memandanginya dengan posisi masih berdiri. Tanpa berani menyentuhnya. Saat tertidur dia benar benar terlihat rapuh, lemah. Seakan-akan jika kusentuh aku akan merusaknya. Dan memang, aku hanya bisa menjadi perusak baginya, dan aku sadar perasaanku ini hanya bisa kusimpan, tanpa ada hal lain yang bisa kulakukan untuk mendapatkannya. Dengan teramat sadar akupun mengetahui, dia bukanlah sepertiku, yang memiliki orientasi seksual yang melenceng, aku tahu sepenuhnya bahwa dia 'lurus'.

Dengan perlahan aku mendudukkan diriku dimeja sebelah ranjangnya, setelah terlebih dahulu memindahkan kacamatanya yang dia letakkan disana. Dengan posisi seperti ini aku dapat lebih leluasa melihatnya. Menatap wajahnya. Tanpa sadar aku tersenyum saat melihat matanya yang setengah terpejam, bibirnya yang setengah terbuka. Ekspresinya benar-benar polos dan aku takkan pernah bosan melihatnya. Aku yakin aku takkan pernah bosan.

Dan kembali kurasakan sesak didadaku, saat kuteringat aku takkan pernah bisa memilikinya, andaikan aku perempuan, andaikan aku tak tertarik padanya pada pandanganku yang pertama, andaikan , andaikan , andaikan. Hanya itu yang bisa kupikirkan, dan kuyakini takkan pernah terjadi. Kuraih dadaku dan kutekan tekan, berharap rasa perih yang kurasakan ini hanyalah ilusi, berharap tusukan tusukan yang kurasakan menghujam dadaku ini segera menghilang.

Tidak! Aku takkan menangis, aku tak boleh lemah, karena aku tahu kelemahanku akan membuatku semakin merana menyimpan perasaan terlarangku ini. Dan aku belum ingin menghapus perasaanku akannya. Aku masih ingin menkmati perasaan ini. Aku masih ingin menikmati rasa sakitnya, menikmati perihnya. Kembali kutatap wajahnya yang mulus tanpa cela, terukir bak porselen. Disatu sisi, dia bisa terlihat tampan, sangat tampan, tetapi disisi lain, dia terkadang bisa terlihat sangat manis, imut. Dan entah karena wajahnyakah aku tertarik, atau karena hal lain aku masih belum mengerti, dan kuharap aku takkan pernah mengerti.

Seringkali aku merasa takut akan perasaanku sendiri, takut aku akan terjerumus lebih dalam lagi, aku takut aku tak bisa melepaskan perasaanku suatu saat nanti. Tapi apa dayaku? Aku hanyalah manusia yang memang lemah, haruskah kuakui aku lemah?

Tak ingin lebih menyiksa diriku dengan memandanginya lebih lama lagi, kuputuskan untuk berjalan jalan diluar, setelah terlebih dahulu meraih terompet kesayanganku. Kulangkahkan kakiku kearah taman yang memisahkan asrama putra dengan asrama putri. Kududukkan diriku dibawah pohon mapple dan kusandarkan punggungku pada pohon tersebut guna menemukan kenyamanan.

Kuperhatikan gemericik air yang berasal dari air mancur dihadapanku, sukses membuatku sedikit tenang.

Wish I could put a spell on you
Wish I could make you feel like I do
Wouldn't that be sweet?
So magical
Kubiarkan telephone genggamku mendendangkan lagu Magical, entah mengapa kurasakan lagu ini pas untukku. Lama kubiarkan lagu itu terus berulang ulang, tak kuganti. Kupejamkan mataku, menikmati suasana damai yang tercipta disekelilingku. Kubiarkan pikiranku terhipnotis oleh suara gemericik air dan lagu yang kuputar. Perlahan-lahan, pikiranku tenggelam dan kutinggalkan alam nyataku, kealam bawah sadarku. Tanpa kuhentikan handphoneku yang memutar lagu tersebut. Yang kubutuhkan sekarang hanyalah kedamaian.

---

'Caramel?' Aku merasa aroma yang entah sejak kapan sudah menjadi favoritku menyapa indra penciumanku. Tetap kupejamkan mataku, aku takut untuk membuka mataku, takut yang kuhirup hanyalah ilusi. Tak lama kemudian kurasakan sesuatu menyentuh lembut pipiku, tak menepuk, hanya mengelus. Seakan sentuhan tersebut takut membawaku kembali ke alam nyata, yang sebenarnya tak perlu dilakukannya. Kurasakan elusannya semakin lembut, dan kurasakan perih dihatiku sedikit menutup. Jika ini hanyalah ilusi, beginikah perasaanku seharusnya?

Nyaris aku mendesah kecewa ketika sentuhan tersebut terlepas dari indra perasaku. Dan aku semakin yakin ini hanyalah ilusiku, karena yang kutahu, yang memiliki aroma ini hanyalah dia. Dan kuyakin tak mungkin dilakukannya. Belum hilang kekecewaanku, aku merasakan sesuatu menyentuh kepalaku, mengelus rambut hitamku. Dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk tak membuka mataku. Meski aku yakin ini hanyalah ilusi, aku tak ingin ilusi ini berakhir. Meskipun hanyalah sebuah ilusi yang tak nyata, aku ingin menikmatinya, menikmati sentuhan-sentuhan lembutnya.

Sesungguhnya ingin ku angkat tanganku, ingin kusentuh tangan yang mengelus kepalaku ringan. Tetapi kembali ketakutanku akan hilangnya ilusi yang kualami semakin kuat. Kubiarkan saja hal tersebut terjadi. Kembali kekecewaan melandaku, saat tangan tersebut terangkat dari kepalaku. Tetapi kembali kurasakan sentuhan pada pipi kiriku, tangan yang dingin. Entah mengapa aku sangat yakin yang kurasakan bukanlah ilusi, tetapi rasa takutku begitu kuat. Jadi tetap kubiarkan mataku terpejam, sebisa mungkin kuusir rasa tegang yang sedari tadi menyapaku.

Tiba tiba... Musik yang tadi kuputar terhenti.

'Ah, sepertinya hpku mati' Aku berusaha berfikir serasional mungkin, tetapi kembali pikiranku terusik ketika tangan yang berada dipipiku bukannya terangkat melainkan aroma caramel yang kuhirup semakin kuat, seakan mendekat. Dan tangan yang menyentuh pipiku hanya terdiam, tak mengelus pipiku lagi. Kurasakan tangan kanan disebelah tubuhku tertindih tangan lain, tangan yang sama dingin dan lembutnya seperti tangan sebelumnya. Dan tak bisa kuingkari ketika jantungku berdegup kian kencang. Sekuat tenaga aku tetap menutup mataku dan membuat posisiku terlihat sesantai mungkin.

Ilusi yang kurasakan kini benar-benar terkesan diluar akal sehat, dan tetap ingin kuyakini sebagai ilusi saja. Tetapi disudut hatiku yang terdalam, aku merasakan hal ini nyata. Kurasakan seseorang mendekati wajahku, terasa hembusan nafasnya, dan kuhirup aroma favoritku, aroma caramel. Aroma yang belum pernah kutemukan dari orang selain dirinya, aroma yang begitu khas.

Dan aku tersentak ketika ada sebuah sentuhan ringan yang menyapa bibirku, lembut. Hanya sebentar. Lalu segala sentuhan yang kurasakan menghilang, serta aroma favoritku yang dibawanya. Sesaat, kerja otakku serasa berhenti, seakan ingin mengabadikan saat saat tadi. Dan kemudian kuberanikan diriku membuka mata, tak ada seorangpun.

Kuusap wajahku, yang mungkin bisa ditemukan semburat lelah. Kuperhatikan Hpku yang kuletakkan disebelahku, masih menyala, hanya lagunya yang berhenti terputar. Mungkinkah...?

Aku bergumam, "Nggak mungkin....."


Bersambung...


-------------------------
Entah apa yang bikin aku nulis ginian
Terlalu stres kayaknya...

Ada saran? Comment please
Don't like? STAY AWAY!

No comments:

Followers