Word : 6523
Terinspirasi dari sebuah mimpi...
Adakah Cinta
©
Me
Seorang anak perempuan berusia kira-kira dua belas tahun, duduk memandang
seorang anak laki-laki dihadapannya dengan wajah penasarannya yang polos.
Dikanan-kirinya terdapat kedua orang tuanya yang mengapit dia. Begitupun dengan
anak laki-laki yang berada dihadapannya, yang sedang diperhatikannya. Seorang
anak laki-laki yang memiliki wajah imut namun menawan. Saat memandang matanya,
anak perempuan tersebut serasa tenggelam dalam mata yang kelam itu.
"Samantha Indriani" Anak perempuan tersebut menyebutkan namanya
saat keduanya berjabat tangan.
"Rendy Sastrawan" Begitu pula dengan anak laki-laki yang
dipandanginya.
Mereka berdua dikenalkan untuk diikat dalam sebuah tali perjodohan yang
sudah direncanakan kedua orang tua mereka. Jauh.. jauh sebelum mereka lahir.
Dan kini mereka harus menyetujuinya, kehendak orang tua mereka. Meski didalam
hati kecil kedua anak tersebut.. Mereka menolak.
---
Jodoh.. Serasa hidup dijaman penjajahan. Aku tahu keluarga kami terpandang,
aku juga tahu kedua orang tua kami bersahabat. Tapi, apakah masuk akal mengorbankan
kebahagiaan anaknya, khususnya kebahagiaanKU. Untung orangnya yang dijodohkan
denganku juga tampan, kalau tidak? Ck.
Kulangkahkan kakiku kesal menuju rumah sahabatku yang hanya berjarak
beberapa rumah saja dari rumahku. Setelah keluarga Sastrawan tadi pulang, aku
segera berjalan menuju rumah sahabatku, Mirna.
Sesampainya didepan rumahnya, segera kutekan bel disamping pintu rumah
tersebut. Sambil menunggu aku hanya bisa menghea nafas kesal, Mirna saja tidak
dijodohkan, mengapa aku harus?
"Tha? Ada apa?" Tanyanya heran.
Tanpa menjawab pertanyaannya aku segera menarik pergelangan tangannya dan
mengajaknya memasuki kamarnya di lantai dua.
"Ada apa sih?" Ujarnya kesal, sembari mengusap pergelangan
tangannya yang kini bertanda merah karena ku cengkeram.
"Gua dijodohin, Na" Ucapku agak kesal.
"Lho? Sama siapa? Kapan? Kok lu kagak cerita?" Tanyanya monoton.
"Lho? Sama siapa? Kapan? Kok lu kagak cerita?" Tanyanya monoton.
"Baru aja tadi, Na. Makanya ini gua mau cerita." Jawabku dengan
nada agak kesal. Apa Mirna tidak tahu aku sedang sangat kesal, dia hanya
membuatku tambah kesal.
"Orangnya kayak gimana?" Sepertinya dia mengerti kekesalanku,
kini dia bertanya dengan agak lembut.
"Lumayan sih, ganteng, imut. Tapi tetep aja, dia kan orang baru, mana
bisa gua langsung suka."
"Ya dicoba aja dulu, Tha. Orang tua lu bukan tukang maksa kan? Yang
gua tahu sih. Nanti kalau nggak cocok ya lu tinggal bilang aja."
"Hhh, iya sih. Semoga aja orangnya asik ya, kalau dingin bisa BT berat
gua."
"Ciayo! Semangat Tha. Dia juga pasti ngerasain hal yang sama kayak lu,
bukan lu aja yang syok kali." Ucapnya lagi, berusaha menenangkanku.
"Hu'um, bener juga ya."
"Makanya lu jangan sewot dulu sama dia. Jadi, apa rencana orang tua lu
buat ngedeketin kalian?"
Aku sedikit berfikir, mencoba mengingat-ingat percakapan di ruang tamuku
tadi.
"Katanya kita mau berlayar, gua boleh sih ngajak temen. Sama lu aja
ya? Biar ada yang gua ajak ngobrol." Aku memandangnya, dengan tatapan
memohon andalanku.
"Iya, gua ikut deh. Kapan?"
"Liburan kenaikan kelas, minggu depan." Ucapku, membuatnya
mengangguk-anggukkan kepala ringan, menyetujui.
---
Kini aku sudah ada diatas kapal tempatku 'berlibur'. Dengan kesal
kuhempaskan tubuhku pada kursi tidur di sisi kapal. Mirna, yang seharusnya
menemaniku, kini sedang asik mengobrol dengan seseorang yang baru saja dikenalnya.
Tentu saja laki-laki, dia memang pandai bergaul. Tak seperti diriku.
"Hai.." Suara lembut seseorang menyapa gendang telingaku.
Sepertinya dia menyapaku.
Kudongakkan kepalaku, mencoba melihat seseorang yang mengeluarkan suara
lembut tadi, dengan tangan yang menghalangi cahaya menerobos mataku. Ternyata
itu dia, Rendy. Dia tak sedingin yang kukira, mau menyapaku.
"Hai juga." Jawabku sekenanya, berhubung tubuhku juga lelah
sehabis berenang bersama Mirna, sebelum dia bertemu teman barunya, dikolam
tengah kapal ini.
"Kita belum bener-bener kenal satu sama lain kan? Baru kenalan
biasa." Dia mendudukkan dirinya tepat dikursi sebelahku merebahkan diri.
"Hmm" Jawabku asal saja.
"Umurmu berapa?" Tanyanya berusaha memulai percakapan.
Aku mendelik, apa dia tak diberitahu orang tuanya? Aku saja tahu dia
berumur dua tahun diatasku.
"Dua tahun dibawahmu" Kembali aku menjawab singkat.
Mengerti akan kemalasanku untuk mengobrol dengannya, dia akhirnya
menyenderkan punggungnya dan membuka sebuah buku tebal yang ternyata sudah
dibawanya sedari tadi, hanya aku yang tak memperhatikan. Kulihat sampulnya
berwarna hitam, dengan gambar wajah yang familiar, novelkah?
"Kamu suka baca?" Tanyaku penasaran, karena wajahnya, eum, bukan
seperti tipe seorang yang suka membaca.
"Iya, kadang-kadang. Tapi cuma suka fiksi. Kamu?" Dia menanyaiku
balik, sambil matanya tetap terfokus pada buku.
Aku menegakkan tubuhku, mencoba menatap kearahnya, ah tidak, mencoba
melihat sampul buku yang ternyata memang novel itu.
"Master Of The Game? Yang tentang saudara kembar?" Ucapku
spontan. Tanpa menjawab pertanyaannya.
Dia segera mengalihkan pandangannya dari arah buku yang dibacanya,
menatapku dengan mata berbinar.
"Iya, kamu tahu? Suka baca juga?" Tanyanya beruntun.
Tanpa sadar aku mengangguk ringan. "Tahu, baru selesai baca bulan
lalu, kalau nggak salah." Aku kembali membaringkan tubuhku dan memejamkan
mataku. "Ya, aku juga suka baca." Ucapku lagi, tanpa membuka mata.
"Aku lebih suka Eve, jahat namun memiliki kesan tersendiri."
Lanjutku, mulai membicarakan isi buku tersebut.
"Hhmm, aku juga pikir dia itu cerdik. Sayang sekali suaminya yang
menghentikan semua rencananya." Dia menanggapi ucapanku. "Alexandra?
Gimana menurutmu dia?"
"Polos, terlalu polos malah. Dia menutupi matanya sendiri dari
fakta-fakta buruk saudara kembarnya, Eve."
Dan percakapan itupun berlanjut hingga makan malam.
---
Setelah makan malam, akhirnya aku kembali kekamarku yang kutempati dengan
Mirna.
"Gimana temen baru lu?" Tanyaku setelah kami selesai berganti
pakaian.
"Lumayan, asik orangnya. Lu gimana sama Rendy? Lancarkah?"
Aku menyipitkan mataku saat menatapnya.
"Apa?" Tanyanya salah tingkah.
"Lu sengaja ninggalin gua biar cuma berdua sama Rendy, ya kan?"
Tanyaku langsung.
"Uhm, iya dan nggak juga sih. So.. gimana?"
"Dia suka baca"
"Sama juga kayak lu dong? Trus kalian ngomongin buku apa?"
"Master Of The Game" Ucapku singkat. Jujur saja, kantuk sudah
mulai menguasaiku.
"Astaga, buku yang tebel itu? Kalian cocok banget. Trus kamu gimana?
Suka?" Aku rasa Mirna makin hari malah tambah cerewet.
Aku hanya mengangkat bahuku malas dan merebahkan tubuhku membelakanginya.
Tanpa tahu Mirna sedang tersenyum kearah punggungku.
---
"Home sweet home" Gumamku lirih, saat baru sampai di depan
pekarangan rumahku. Aku segera turun dan hendak memasuki rumahku ketika sebuah
tangan menghambat langkahku. Saat kulihat pemilik tangan itu, ternyata adalah
Rendy.
"Aku disuruh nginep di rumahmu satu minggu, orang tuaku mau keluar
kota." Ucapnya sembari melepaskan pegangannya yang tak terlalu erat pada
tanganku.
"Hmm" Gumamku, lalu melangkah kedalam rumahku diikuti olehnya.
Koper-koper yang kubawa sudah diambil oleh para karyawan dirumahku, dan
begitu pula kopernya. Lalu aku segera mengantarkannya ke kamar tamu yang berada
tepat di bawah kamarku.
"Maaf ya, kamarnya agak kotor. Nanti aku suruh bersihin." Aku
menyalakan lampu dikamar tersebut, dan terlihat sebuah kamar yang didominasi
warna putih, tidak terlalu luas, namun juga tidak terlalu sempit. Aku
memiringkan tubuhku untuk mempersilahkannya masuk.
Sebenarnya aku bisa menyuruh salah satu karyawanku untuk melakukannya,
tetapi ada sebuah keinginan dalam diriku yang membuatku melakukannya. Dan aku
mencoba untuk menghiraukannya. Salah seorang karyawanku tiba-tiba masuk ke
kamar yang sedang kami tempati, membawakan koper-koper yang tadi dibawa Rendy.
"Orang tuaku biasanya pulang agak malam, jadi nanti aja kukasi tau
mereka." Kataku sebelum keluar dari kamarnya.
"Mereka kayaknya udah tau." Jawabnya, tepat saat aku menutup
pintu kamarnya.
Aku menaiki tangga menuju kamarku yang terletak dilantai dua, dan segera
membereskan barang-barangku yang terletak didalam koper. Setelah yakin semuanya
sudah berada ditempat yang seharusnya, aku segera membersihkan diri dan
merebahkan tubuhku yang mulai terasa lelah dikasurku yang sudah beberapa hari
tak kutempati.
Perlahan-lahan aku mulai terseret dalam mimpi dan meninggalkan alam
sadarku.
---
Suara ketukan pintu membuatku mengerjap-ngerjapkan mataku, perlahan aku
mulai terbangun.
"Tha.." Suara yang familier.
"Ehhm" Aku hanya bergumam tak jelas, karena memang aku masih
mengantuk, dan tubuhku rasanya sedikit meriang.
"Tha.." Kembali suara ketukan dan sebuah suara yang familiar
menyapa gendang telingaku.
"Masuk aja, kagak dikunci" Ucapku malas.
Terdengar suara derit pintu terbuka dan langkah seseorang yang mendekatiku.
"Kenapa Tha? Sakit?" Tanya suara yang familiar itu.
"Hmm." Aku hanya bergumam, setengah mengiyakan. Entah karena apa,
aku merasa ingin bermanja-manja pada orang yang ada didekatku ini.
Tangannya yang hangat memegang dahiku. Sekilas sebuah perasaan nyaman
menyusup kerelung hatiku.
"Haus." Gumamku dikeadaanku yang masih setengah sadar.
Terdengar langkah kaki orang tersebut, yang menandakan dia akan keluar dari
kamarku. Tak lama setelahnya, dia kembali duduk dipinggir tempat tidurku.
"Nih, minum." Ucapnya lembut.
Perlahan aku membuka mataku dan mengusapnya perlahan. Rasanya badanku agak
lemas dan rasa kantuk masih sedikit menguasaiku. Kutegakkan perlahan tubuhku
dan memandang kearahnya, kedalam matanya. Sama seperti pertama kali aku
memandang mata tersebut, aku tenggelam. Mata kelamnya yang indah, seakan
menarikku untuk menjelajahi mata tersebut. I love his eyes.
Mencoba menutupi semburat merah yang kuyakin kini telah mewarnai pipiku,
karena pipiku serasa panas seketika. Aku mengambil air hangat yang
disodorkannya.
"Thanks." Gumamku singkat sebelum meneguk air tersebut.
Sangat terasa air tersebut mengaliri tenggorokanku hingga sampai diperut.
Rasa hangat yang asing menyergap perutku, dan rasanya sedikit perih serta
meletup-letup.
"Argh." Aku mengerang, menjatuhkan gelas yang tadi kupegang
keatas tempat tidurku hingga membasahi bagian kakiku. Aku meremas bagian
perutku.
"Kenapa?" Tanyanya panik. Sebelah tangannya menggenggam tanganku
lembut, dan sebelahnya lagi meraba keningku. "Kamu demam." Dia
mengambil gelas yang tadi kujatuhkan dan meletakkannya disamping tempat
tidurku. "Dimana kotak obat?" Dia membawa pandangannya kesekeliling
kamarku.
"Aku ga perlu obat." Jawabku masih sambil meringis pelan, dan
menekan bagian perutku, guna menghilangkan rasa sakit.
"Mukamu udah pucet, Tha." Desaknya dengan sorot mata khawatir.
"Temenin aja aku disini." Ucapku sembari kembali merebahkan
tubuhku pelan. Aku rasa aku mulai menyukainya. Padahal baru beberapa hari aku
mengenalnya. Segala hal yang dilakukannya mampu membuatku trenyuh.
"Hhm, oke. Tapi aku keluar sebentar ya." Setelah mengatakan hal
tersebut dia meninggalkan kamarku, dengan pandanganku yang tak bisa lepas dari
punggung tegapnya.
Dia kembali dengan seorang karyawanku yang biasa kupanggil Cici. Cici
membawa selimut dan sprai baru, sepertinya untuk mengganti milikku yang tadi
basah terkena air.
"Sini" Ucapnya, mengulurkan tangan dan membantuku bangun.
Aku memeluk tangan kanannya karena badanku memang sudah lemas yang jika
tidak kulakukan, mungkin aku sudah terjatuh. Dia melepaskan pelukanku pada
tangannya, tanpa kusadari sebuah rasa kecewa menyusup dihatiku. Tetapi kemudian
rasa kecewa itu hilang ketika dia menggenggam tangan kananku dengan tangan kirinya,
dan tangan kanannya melingkari pinggangku. Kusandarkan kepalaku pada dada
bidangnya, rasanya badanku sudah sangatlah lemas.
"Tahan sebentar ya, Tha. Kalau spreinya nggak diganti sakitmu bisa
tambah parah." Dia berbisik sembari menopangkan dagunya pada kepalaku.
Aku hanya bisa mengangguk pelan dalam pelukannya yang hangat. Rasanya
seperti pelukan ayahku sendiri, sangat nyaman. Aku menggigit bibir bawahku
pelan, mencoba menahan rasa perih diperutku yang semakin menjadi-jadi. Seketika
kurasakan kepalaku mulai terasa pening, dan ruangan disekelilingku serasa
berputar.
"Ren.." Niatku yang ingin memanggilnya keluar sebagai isakan.
Aku merasakan pelukannya semakin erat sebelum aku tak sadarkan diri.
---
Aku membuka mataku perlahan, mulai membiasakan mataku dengan cahaya yang
menyusup masuk kekamarku dari celah-celah korden. Rasa pening seketika
menyerangku saat aku hendak menegakkan tubuhku.
Aku merasakan sebuah genggaman yang hangat pada tangan kiriku, dan ketika
kutolehkan wajahku, blush, rasa hangat yang menyenangkan menyapa wajahku. Rendy
sedang duduk diatas kursi yang sepertinya diambil dari meja belajarku, dengan
kepalanya yang diletakkan disisi tempat tidurku. Sedang terlelap dan tetap
menggenggam tangan kiriku dengan kedua tangannya.
Kutepuk lembut tangannya dengan menggunakan tangan kananku yang bebas.
"Ren..?" Ucapku disela tepukanku.
"Hmm." Gumamya singkat, sepertinya dia masih sangat mengantuk.
"Ren, bangun udah pagi." Ucapku, masih sambil menepuk tangannya
lembut.
Perlahan dia mengangkat kepalanya dan menatap mataku, mata yang selalu
membuatku tenggelam ketika menatapnya, mata yang kukagumi sejak pertama kali
memandangnya.
"Udah sembuh, Tha?" Tanyanya dengan raut khawatir.
"Kamu nggak pegel tidur kayak gitu?" Aku balik bertanya padanya
tanpa menjawab pertanyaannya padaku.
"Hhmm" Dia bergumam sembari tersenyum. "Nggak, nggak sama
sekali." Dan senyum masih belum meninggalkan wajahnya yang tampan.
"Ya udah, kita sarapan aja yuk? Orang tuaku juga pasti udah
dibawah." Perlahan aku menuruni tempat tidurku sambil menahan ringisanku,
tak ingin membuatnya khawatir. Tapi sepertinya sia-sia.
"Mukamu masih pucet, perutmu masih sakit?" Raut khawatir kembali
menghiasi matanya.
"Udah nggak kok." Jawabku setengah berbohong. Perihnya memang tak
seperti kemarin, setidaknya sensasi meletup yang kurasakan sudah hilang.
"Yaudah kalau gitu, yuk turun." Dia mengulangi ajakanku.
Minggu tersebut menjadi sebuah awal bagi kami, karena kami mulai menyadari,
ternyata kami saling menyukai satu sama lain.
---
Empat tahun kemudian...
---
Jangan lupa makan ya ^^
Aku tersenyum membaca pesan singkat yang dikirimkan Rendy padaku. Empat
tahun yang kami lalui bukannya mengikis perasaan kami, namun membuatnya semakin
tumbuh dan kuat. Dan kini kurasa aku mencintainya. Setidaknya itu berlaku
untukku.
Iya, Ren juga jangan lupa makan ^^
Kembali aku tersenyum membaca balasanku sebelum aku mengirimnya. Tiga bulan
sudah aku tak melihatnya, karena kini dia sudah kuliah di luar kota. Terakhir
kami bertemu saat dia pulang setelah Ulangan Tengah Semesternya.
Bulan Desember, sayang sekali jika dia tak bisa pulang dibulan yang selalu
special ini.
Aku menatap kearah lapangan di samping kelasku. Seperti biasanya, lapangan
selalu kosong dijam-jam ini. Karena tak mungkin ada kegiatan olah raga
dijam-jam terakhir sekolah.
Tiba-tiba sebuah perasaan asing menyusup kehatiku. Aku mencoba tak
mengindahkannya tetapi tak berhasil.
"Tha!" Seseorang memanggilku dengan nada tinggi.
"Apa?" Aku menyahutinya dengan agak malas.
"Mirna pingsan, sekarang mau dibawa kerumah sakit." Jelasnya
sembari mengatur nafas, sepertinya dia baru habis berlari.
"Serius?" Tanyaku, seketika aku berdiri dari posisiku dan berlari
ke UKS.
Aku menatap Mirna yang tak sadarkan diri dengan bercak darah dibeberapa tempat.
Sepertinya dia mimisan sebelum pingsan.
"Aku ikut kerumah sakit!" Teriakku pada PMR yang sedang mencoba
menyadarkan Mirna.
"Ambulancenya nggak akan cukup." Kata salah seorang dari mereka.
"Yaudah, aku ngikutin pake motor." Aku segera melesat keluar dan
mengambil kunci motorku. Setelah itu aku segera stand by didepan UKS menunggu
ambulance yang akan membawa Mirna dan beberapa temanku yang lain.
Setelah sampai di rumah sakit kami menunggu diluar, karena ruang UGD tak
boleh ditempati terlalu banyak orang.
Ren.. Ren.. Ren..
Aku mengirim Rendy sebuah pesan singkat, aku benar-benar membutuhkan
ketenangan saat ini. Aku membutuhkannya disini sekarang.
Dengan gelisah aku berjalan bulak-balik didepan pintu ruang UGD sembari
memainkan telepon genggamku dengan kedua tanganku. 'Oh Tuhan, Mirna kenapa?'
Aku hanya dapat berkata dalam hati.
Tiba-tiba Hp dalam genggamanku bergetar, segera kubuka pesan yang kuterima
dari Rendy.
Kenapa Tha?
Ingin menangis aku rasanya, hanya dapat membaca pesannya, tanpa dapat
melihatnya secara langsung tanpa dapat memeluknya untuk mencari ketenangan.
Mirna masuk RS, aku takut
Tak lama kemudian, Hpku kembali bergetar.
Inget kata-kata ini Tha, 'Masa hidupku ada dalam tanganmu'
Sekarang kamu percaya aja sama Tuhan,
Meski hanya berupa pesan singkat, dia sudah mampu membuatku tenang.
Ren, perlu kamu disini :'(
Aku membalasnya, meski tahu aku akan mengganggunya, karena ini hari
terakhir Ujian Akhir Semesternya.
Besok aku pesan tiket, tunggu aku, Love.
Kini aku benar-benar dapat merasa tenang.
---
Aku menggenggam tangan Mirna, tangan yang biasanya hangat kini dingin. Aku
menatap wajahnya yang pucat, matanya yang tertutup. Sudah dua hari Mirna
menetap disini, meski sudah dipindahkan dari UGD ke kamar rawa inap yang biasa.
Tanpa terasa sebuah tetes bening mengaliri pipiku, sosok yang selalu ceria,
yang selalu ada untukku, kini harus terbaring lemah.
"Mirna.." Gumamku, aku tak menyangka sosok kuat seperti Mirna
mengidap sebuah penyakit yang benar-benar parah. Selama ini, aku tak tahu bahwa
jantungnya lemah.
Bahkan di setiap beberapa detak jantungnya, jangtungnya akan berhenti
berdenyut satu kali, dan itu membuatku benar-benar takut, takut ketika detaknya
berhenti... tak akan berdetak lagi.
"Please bangun, Na.." Gumamku lagi, aku benar-benar tak kuasa
menahan tangisku, sekuat tenaga kutahan isakanku.
Aku membiarkan tetes-tetes bening membasahi tanganku yang menggenggam
tangannya, setidaknya hal tersebut dapat membuatku terjaga. Sebuah getar halus
mengalihkan pandanganku dari wajahnya. Kuambil Hpku dan kubuka pesan yang
kuterima dari Rendy.
Kamarnya nomor berapa?
Aku tak menyangka dia sudah ada dikota ini, bahkan mungkin sudah berada
dirumah sakit ini.
Melati, 15
Seteah menjawabnya, aku segera menatap wajah Mirna lagi, tetapi kini air
bening yang keluar dari mataku sudah berhenti. Sebuah suara pintu yang terbuka
menyapa gendang telingaku, dan tanpa melihatnya kau sudah tahu dia Rendy.
"Tha.." Sapanya.
Aku meliriknya sekilas dan segera memalingkan wajahku, menatap Mirna
kembali. Aku merasakannya dia mendekat, dan berdiri tepat dibelakangku.
Tiiiiiiiiiiiiit . . Tit . .Tit . .Tit . . Tit
Aku merasa dia tersentak.
"Apa itu tadi?" Tanyanya, masih sedikit syok.
"Jantungnya lemah, detaknya hilang setiap beberapa detakan, jadi aku
udah biasa dengernya." Aku menjelaskan keadaan Mirna secara singkat
padanya.
Aku merasakan lengannya yang kekar mengelilingi tubuhku, dia memelukku. Tak
bisa kupungkiri aku sangat merindukan pelukannya.
"Aku takut kehilangan dia, Ren." Ucapku parau, aku berusaha
sekeras mungkin untuk tidak menangis.
"Yakin aja, Tha. Tuhan bakal nyembuhin dia." Dia mengusap
rambutku, lembut.
---
Hari ini tepat satu minggu setelah Mirna keluar dari rumah sakit, dan aku
masih belum bsa meyembunyikan kelegaanku atas kepulangannya. Dan besok..
Ulangan Akhir Semester sekolahku akan dimulai.
"Tha.. Mau ikut ke Mall?" Rendy menatapku dari balik pintu
kamarku.
"Nggak, aku mau belajar, Ren." Aku tak menatapnya dan tetap
konsentrasi pada buku yang kubaca.
"Yaudah, blajar yang rajin ya. Aku minta izin sama tante dulu."
Diapun meninggalkan kamarku dan turun untuk mencari ibuku.
Sejak kepulangannya dua minggu yang lalu, dia memang menginap dirumahku,
alasannya? Karena orang tuanya sedang dalam liburan di luar negeri. Jadi dia
meminta izin pada orang tuaku untuk menginap hingga orang tuanya pulang. Yang
dengan senang hati diizinkan oleh ibuku.
Sejak dia mengajakku ke Mall, entah mengapa aku tak bisa berkonsentrasi
pada bukuku, mataku memang tertuju pada buku yang terbuka dihadapanku, tapi
tidak dengan fikiranku.
Ada sesuatu yang mengusik hatiku, tapi aku tak tahu apa. Risih dengan
perasaanku yang tiba-tiba tidak jelas, aku memutuskan memutar musik dari mp3
player milikku. Kudengar senandung Cinta Pertama dan Terakhir milik Sherina.
Tanpa sadar air mata menetes dari pelupuk mataku. Dan aku heran akan perubahan
perasaanku yang tiba-tiba mellow tanpa sebab.
Jika suatu saat kau harus pergi
Jangan paksa aku tuk cari yang lebih baik
Karena senyummu……
Dua buah kalimat yang tiba-tiba menyentakku kembali kealam nyataku,
kuputuskan untuk meraih telepon genggamku dan membuka layanan jejaring
sosialku.
Kupilih update status dan kuketikkan kalimat tersebut :
Jika suatu saat kau harus pergi, jangan paksa aku tuk cari yang lebih baik
Love you Ren…
Aku tersenyum sendiri melihat hasil ketikanku, setelah puas kupilih tombol share.
Kembali kuhanyutkan diriku pada alunan lagu yang terputar dari mp3
playerku, tanpa memiliki niat sedikitpun untuk melanjutkan belajarku. Tiba-tiba
sebuah getar halus dari Hpku memecahkan lamunanku. Ternyata sebuah pesan
singkat dari Mirna.
Ada masalah?
Aku mengerutkan keningku, mengapa tiba-tiba dia menanyakan hal ini?
Emangnya ngapa?
Aku membalasnya, karena jujur.. Aku tak tahu apa maksudnya. Tak lama
sesudah kumembalas pesannya, dia kembali menjawab pesanku.
Status lu neng, kayak orang patah hati.
“Oooh” Aku bergumam sendiri. Ternyata itu yang membuatnya bertanya
demikian, segera kubalas kembali messagenya.
Pengen, lagi dengerin lagu nih gw.
Setelah menjawab pesannya, segera kualihkan pandanganku menuju jam yang
bertenger manis diatas tempat tidurku, menunjukkan pukul 07.00 sore. Aku
memutuskan untuk turun dan mengisi perutku yang memang belum diisi sejak siang.
“Mbak Cici..” Panggilku pada karyawan yang tak beda jauh umurnya denganku.
“Iya, Tha? Ada apa?” Dan diapun tak pernah berbahasa yang terlalu formal
padaku, karena kami sudah mengenal satu sama lain sejak kami masih kecil.
“Rendy udah pulang, Ci?”
“Belum sih tadi, mau makan duluan atau nunggu Mas Rendy?” Cici bertanya
padaku, aku sedikit menimang-nimang. Aku juga tidak tahu apakah Rendy sudah
makan atau belum. Dia juga tidak mengabariku, kuanggap dia belum makan. Karena
biasanya dia akan memberitahuku. Jadi, kuputuskan untuk menunggunya saja,
lagipula aku belum terlalu lapar.
Aku berjalan menuju ruang tamu dan menyalakan TV yang berada disana. Aku
tak terlalu sering menonton TV, jadi aku tak terlalu tahu acara-acara yang
menarik pada jam-jam seperti ini. Jariku memainkan tombol-tombol remote TV
karena belum menemukan acara yang menarik minatku. Jariku berhenti menari
ketika aku menemukan sebuah acara yang menayangkan musik-musik. Aku memutuskan
untuk mendengarkannya dan merebahkan tubuhku pada sofa panjang.
“Dakara ima ai ni yuku, sou kimetanda..” Aku bersenandung mengikuti lagu
yang diputar diacara tersebut. Aku tak habis pikir, sepertinya hari ini
lagu-lagu yang kudengar lagu-lagu yang sedikit mellow.
Aku tak tahu sudah berapa lama aku merebahkan diri di sofa ini, hingga rasa
kantuk mulai menguasaiku. Ketika aku nyaris tertidur, sebuah sentuhan halus
dikepalaku membuatku membuka mataku kembali.
“Ren..” Lirihku ketika melihatnya tersenyum memandangku. Kuusap mataku
perlahan, mencoba membiasakan mataku dengan cahaya yang baru masuk.
“Tha, udah makan?” Tanyanya, masih menatapku yang belum beranjak dari
posisi tidurku.
Aku menegakkan diriku dan dia mengambil tempat untuk duduk disebelahku.
“Nunggu kamu pulang.” Jawabku sambil menatap tepat pada matanya. Entah apa
yang membuatku begitu tertarik pada matanya.
Sekejap aku dapat melihat sirat sesal dalam matanya.
“Maaf, aku udah makan tadi. Aku nggak tau kamu nunggu aku pulang.”
Jawabnya, membuat sedikit rasa kecewa menyusup dalam hatiku.
Mengapa dia tak mengabariku seperti biasanya?
“Iya, nggak apa Ren. Aku juga nggak laper.” Aku mencoba tersenyum kearahnya
dan berdiri bermaksud untuk mengistirahatkan diri dikamar.
“Tha, makan dulu. Nanti maagmu kambuh lagi gimana? Besok kamu ulangan.” Dia
berusaha menjajari langkahku.
Aku berhenti dan menatap kearahnya, tersenyum berusaha menutupi rasa
kecewaku yang mungkin sudah membesar.
“Nggak akan Ren, kamu istirahat aja, capek kan tadi?” Aku menatapnya,
menatap matanya yang -sepertinya- benar-benar menyiratkan penyesalan dan kekhawatiran.
Kelegaan sedikit demi sedikit menyusup dalam hatiku, setidaknya dia
khawatir padaku.
“Hhh, iya kamu juga istirahat ya..” Rendy mendekat padaku dan mengecup
pelipisku sekilas. Serentak sebuah rona merah menghiasi pipiku.
“Iya, good night..” Kami berjalan menuju kamar kami masing-masing, tanpa
menunggu orang tuaku yang belum pulang.
Aku memasuki kamarku dan mengganti pakaianku ke pakaian tidur. Aku
merebahkan diriku perlahan, mencoba merilekskan pikiranku. Perlahan tetes
bening keluar dari mataku, mengaliri pipiku dan membasahi bantalku. Apa ini?
Mengapa aku jadi sensitif? Aku mengusap air mata yang masih mengalir, rasa
kesal menjalari hatiku. Kesal pada diriku sendiri, kesal pada Rendy, kesal pada
rasa kecewaku.
Dan malam itu, aku tertidur dalam keadaan menangis.
---
Aku terduduk merenung di halaman belakang rumahku, menatap kolam yang
berisi ikan-ikan yang dengan mudahnya terlihat dari tempatku berada. Pohon yang
rindang membuat sinar matahari yang masih terik menyengat tak menyentuhku
terlalu banyak. Dengan santai aku memecah-mecah roti yang sengaja kusiapkan dan
kulemparkan kedalam kolam tersebut.
Kuperhatikan ikan-ikan yang langsung mengerubuni roti yang kulemparkan dan
habis dalam sekejap. Kuulangi terus kegiatan itu sambil memperhatikan tingkah
laku ikan yang kuberi makan, hingga roti ditanganku habis. Kusandarkan
punggungku pada dahan pohon yang kokoh dan kupejamkan mataku, menikmati semilir
angin yang terasa agak panas.
Aku berusaha bersantai setelah satu minggu penat yang kulalui karena
ulangan akhir semesterku, terlebih lagi, sepertinya Rendy agak berubah.
Meskipun perhatiannya masih sama seperti yang dulu, caranya menatapku juga
masih sama, bahkan caranya memperlakukanku juga masih sama. Yang agak berubah
hanya, sepertinya dia mulai menjaga jarak denganku. Entah apa alasannya aku tak
tahu dan aku tak peduli, semasih dia ada untukku saat kumemerlukannya, dan
semasih dia tak meninggalkanku, apa yang perlu kucurigai darinya? Aku
mencintainya dan itu sudah menjadi alasan untukku mempercayainya.
Biasanya, saat aku mulai menyendiri seperti ini dia akan menghampiriku dan
kami mengobrol tanpa kenal waktu. Sekarang, dia ada dimana saja aku tak tahu.
Jujur, aku merindukannya, merindukan seseorang yang berada dekat denganku,
merindukan seseorang yang tinggal dirumahku. Aneh? Aku merasa hal itu
benar-benar aneh.
Sebuah getar halus membuatku menoleh pada handphoneku, ada sebuah pesan
dari Mirna dan aku membukanya.
Jalan yuk.. stres gw abis ulangan kemaren..
Aku tersenyum dan segera mengetik balasannya.
Jemput gw, mau kemana?
Setelah mengirimnya aku segera bangkit dan menuju kamarku untuk mengganti
pakaianku. Tak beberapa lama kemudian sebuah getar halus membuatku kembali
mengambil handphoneku.
Terserah, gw udah dibawah, cepetan cuy.
Setelah melihatnya kutinggalkan Hpku diatas meja belajar dan bergegas
turun. Kulihat Mirna sedang berbincang dengan Cici.
“Yuk, Na.” Aku menghampiri mereka.
Kulihat Cici segera bergegas kembali keruangannya.
“Eh, Ci..” Aku memanggilnya dan membuatnya kembali menoleh padaku.
“Ya, Tha?” Dia berjalan kembali mendekat. “Ada apa?”
“Ikut yuk, biar rame.” Aku mengajaknya. “Boleh kan, Na?” Mirna mengangguk
menyetujui.
Kulihat wajah Cici langsung berbinar.
“Yuk.”
Kami memutuskan untuk menonton film yang ditayangkan di bioskop salah satu
mall yang dekat dengan kompleks perumahan kami.
Dari awal hingga akhir tak ada satupun dari kami yang mengeluarkan suara,
padahal film yang kami tonton lumayan menegangkan. Kulirik Cici dan Mirna yang
duduk disebelah kiri dan kananku, mereka sepertinya tidak terlalu memperhatikan
filmnya.
“Hhhh” Aku menghela nafas agak berat.
Kuperhatikan Mirna yang pandangannya jatuh pada satu titik didepan kita.
Agak jauh tapi lumayan jelas karena berada didepan jadi terkena cahaya yang
berasal dari layar. Mau tak mau aku ikut memperhatikan sosok yang menjadi objek
yang diperhatikan Mirna. Sepertinya agak familiar tapi aku tak tahu itu siapa.
“Yuk kita keluar aja.” Mirna mengajak aku dan Cici keluar.
“Tapi filmnya belum setengah..” Aku heran akan sikapnya.
“Iya, Tha. Kita keluar aja yuk.” Cici mendukung ajakan Mirna, membuatku
agak curiga pada keduanya.
Saat kami sampai diluar, mereka berdua berpandangan penuh arti sebelum
sama-sama menarikku menjauhi gedung bioskop. Menuju Food Caurt didekat sana.
“Kalian kenapa sih?” Aku yang agak kesal akhirnya mengeluarkan unek-unekku.
“Nggak kenapa kok, Tha.” Cici menyahutiku sembari mengetikkan sesuatu
diHpnya.
Sesaat kemudian Mirna mengambil Hpnya dan membacanya kemudian membalas
pesan tersebut. Begitu terus berulang-ulang. Dengan kesal aku menyeruput
minuman yang tadi kami pesan, aku merasa benar-benar diabaikan oleh mereka
berdua.
Kami memesan makanan dan makan dalam diam, mereka sesekali masih
memperhatikan ponsel mereka dan ber-sms ria. Seperti hidup mereka ada pada
pesan tersebut. Hingga makanan dipiringku habis, kami masih tak bersuara. Aku
benar-benar bosan.
Tiba-tiba mataku terpaku pada dua orang yang duduk tak jauh dari kami, aku
merasa sangat mengenal salah satu dari mereka. Aku terus memperhatikan sosok
laki-laki yang duduk membelakangi diriku, di hadapan seorang perempuan yang
berada tepat di hadapannya. Sebuah firasat buruk menghinggapi benakku saat kulihat
siluet wajahnya ketika dia menatap kearah samping. Kulihat mereka berdua
berpegangn tangan diatas meja, layaknya sepasang kekasih.
"Gua kekamar mandi, guys." Aku berkata pada mereka berdua yang
masih sibuk pada ponselnya.
"Hmm." Sahut mereka berbarengan.
Aku bukannya berjalan kearah kamar mandi tetapi kearah meja mereka yang
sedari tadi kuperhatikan. Saat aku berada disamping meja tersebut, kulirik
mereka, dan betapa terkejutnya diriku saat...
"Ren..dy.." Aku melihatnya tersentak dan segera melepaskan
genggamannya pada perempuan tersebut.
"Tha... kamu ngapain disini?"
"Kamu yang ngapain disini!" Aku membentaknya dengan
penekanan pada kata 'kamu'.
"Tha! Ini bukan kayak yang kamu lihat.."
"Apanya? Kamu mau bilang aku buta?" Aku sedikit merendahkan nadaku
agar terkesan dingin. Dalam hatiku, aku kecewa.
"Bukan, aku nggak bermaksud..."
"Haha.." Aku tertawa miris, memotong ucapannya. "Kamu emang
nggak pernah bermaksud ngapa-ngapain."
"Tha.." Aku segera pergi meninggalkan mereka berdua, dan mengajak
Mirna serta Cici segera pulang. "Maaf.." Gumamnya, yang sayangnya tak
bisa kudengar.
---
"Kalian udah tahu kan?" Lirihku dalam mobil, seolah bicara pada
kekosongan. "Kalian lihat dia kan tadi? Makanya kalian langsung narik gua
keluar dari bioskop?" Aku meninggikan suaraku, perlahan aku mulai terisak.
Aku menggelengkan kepalaku, "Kalian dari tadi juga ngobrol lewat ponsel
kan? Kalian berusaha nyembunyiin kan?" Mereka tak menyahutiku seolah aku
hanya bicara ada diriku sendiri.
Isakan yang keluar dari bibirku semakin keras. "Kenapa.. kenapa harus
Rendy.." Aku menutupi wajahku dengan tanganku yang sudah bergetar.
Aku teringat akan status yang kubuat minggu lalu
Jika suatu saat kau harus pergi, jangan paksa aku tuk cari yang lebih baik
Love you Ren…
Sangat cocok dengan keadaanku saat ini.
Sesampainya aku di rumahku, aku segera turun dari mobil Mirna dan tanpa
menunggu mereka berdua turun, aku melesat menuju kamarku.
Kuraih handphoneku dan kulihat layarnya memunculkan dua pesan, salah
satunya dari Rendy.
Tha.. Maaf..
Segera kuhapus pesan tersebut, aku terlalu emosi dan mungkin aku belum siap
untuk bicara dengannya.
Dan kulihat satu pesan lagi dari Raka, teman dunia mayaku.
Siang ^^
Tanpa menjawab pesannya aku langsung menekan tombol hijau pada ponselku,
menelponnya.
-Halloo- Sebuah suara riang menyahut dari sana.
"Hai.." Aku menyahut lirih dengan isakan yang masih tersisa.
-Loh? Tha ada apa?- Tanyanya dengan nada khawatir.
"Rendy.." Isakan masih mewarnai suaraku.
-Kenapa dia?- Dengan sabar dia mau menemaniku curhat. Meskipun hanya
teman dunia maya, dia sudah seperti kakakku sendiri.
"Selingkuh.. dia selingkuh Ka.."
-Selesaiin dengan kepala dingin, kalian disatuin lewat perjodohan, apa
pernah dia bilang cinta sama kamu?-
"Ehm.. pernah.." Ucapku sedikit ragu.
-Mungkin dia sedikit merasa terkekang, atau ada hal lain. Bisa aja dia
nggak selingkuh, kamunya salah paham misalnya?-
"Aku lihat sendiri, mereka pegangan tangan..." Ucapku merengek,
masih terisak. "Romantis bangeeet, Ka. Mereka bener-bener kayak
pacaran."
-Omongin dulu baik-baik, bisa aja....
"Tha!" Suara seseorang yang baru memasuki kamarku membuatku
menjatuhkan ponselku.
"Apa?!" Aku yang sudah mulai tenang kembali emosi melihatnya,
padahal aku benar-benar sangat mencintainya.
Dia memungut ponselku dan melihat layarnya yang masih tersambung dengan
Raka. Dia menekan sebuah tombol lalu..
-Tha.. Tha.. Kamu nggak apa? Hallooo Tha...-
Setelah itu dia menekan tombol untuk memutuskan hubungan, dan menatapku
dengan padangan dinginnya.
"Bukan cuma aku kan? Kamu juga, siapa dia?" Rendy menatapku
dengan sorot dingin, mata yang selama ini kupuja menyorot dingin padaku.
Hatiku bagai diiris dengan seribu pedang. Kekecewaan, marah, sedih, putus
asa membaur jadi satu dihatiku. Ternyata Rendy tak percaya padaku, dia
menuduhku padahal dialah yang bersalah.
"Dia temen gua! Gua cuma curhat sama dia, gua nggak PEGANGAN TANGAN
sama cowok lain sementara gua udah punya pasangan, gua nggak kayak LU!"
Bahasaku yang biasanya sopan padanya berubah, bahkan aku membentaknya.
"Temen? Setauku kamu nggak pernah mau nangis didepan orang lain selain
aku.. Posisiku udah ada yang gantiin?" Tanyanya dengan nada datar.
"Jangan samain gua dengan lu! Keluar! Keluar lu dari kamar gua!
KELUAR!" Teriakku dengan isakanku.
Aku mendorongnya dan dia tak melawan. Setelah dia keluar aku segera
mengunci pintuku. Tak ingin ada seorangpun yang menggangguku.
Kulempar segala barang yang dapat kujangkau, kamarku yang biasanya rapih,
kubuat hingga seperti sehabis ada badai didalamnya. Setelah lelah, aku
mendudukkan diriku menyender pada tembok kamarku. Tanpa sadar aku mengambil
cutter yang tergantung disisi meja belajarku, dan kuambil beberapa tablet asame
fenamat.
Aku menelan beberapa buah tablet sekaligus, berniat menghilangkan rasa
sakit dihatiku. Tapi tentu saja hal itu sia-sia, karena tablet tersebut hanya
berfungsi untuk sakit fisik.
Kuambil bantalku dan kuiris perlahan-lahan. Sambil tetap menangis.
"I love Rendy, but he love me not.." Aku bersenandung sambil
menangis. "I was always miss him, but i think he only saying that he miss
me.." Aku masih bersenandung dengan nada asal yang terfikir olehku.
Aku sudah tak terisak dan air mataku sudah tak mengalir lagi, tetapi rasa
sakit dihatiku tetap tidak hilang. Perutku sedikit tak nyaman, sepertinya
akibat obat yang kumakan terlalu banyak.
Tok tok tok..
Suara ketukan dipintu kamarku membuatku mengalihkan pandanganku dari bantal
yang kuiris ke pintu kamarku yang masih tertutup rapat.
"Tha.." Suara Rendy.
"Pergi.." Lirihku.
"Tha.. buka pintunya." Ucapnya dengan nada memohon.
"PERGI!" Teriakku.
"Maaf, Tha. Please keluar, kita omongin baik-baik."
"Nggak ada yang perlu diomongin."
"Perlu, Tha."
"Aku mau Rendy.. aku mau Rendyku yang dulu." Aku meracau tak
jelas.
"Aku Rendy, Tha. Aku masih yang dulu.
"Mana?!" Ucapku berteriak, air mata kembali mengalir dipipiku.
"Mana Rendy yang selalu nemenin aku?" Tak hanya air mata kini yang
mengalir, tetapi isakan mulai terdengar kembali dari bibirku. "Mana Rendy
yang selalu khawatir sama aku?" Aku mengambil vas bunga didekatku dan
kulemparkan. "Argh!" Teriakku saat melemparnya. "Mana Rendy yang
selalu nemenin aku saat aku sakit?" Isakanku semakin keras, aku tak
sanggup menahan tangisku. "Mana Rendy yang selalu punya waktu
untukku?" Aku menutup mulutku, merasa mual. Sepertinya efek obat yang terlalu
banyak kumakan.
Aku terduduk, mengambil cutter yang sempat terabaikan. Mengarahkannya tepat
dinadiku. "Mana Rendy yang selalu punya kata-kata manis untukku?" Aku
mengiris nadiku. "Argh!" Aku sedikit berteriak saat melihat darah
yang mengalir, tak kurasakan sakit yang seharusnya ada.
"Tha? Kamu kenapa? Tha buka pintunya" Dia kembali menggedor
pintuku.
Dengan lemah aku mengambil ponselku dan kubuka jejaring sosialku. Tak
kupedulikan darah yang terus mengalir.
Aku memang bukanlah seorang yang sempurna, tetapi cintaku yang kuberikan
padamu.. Sudah kuusahakan sesempurna mungkin, sebelum kau cemari dengan
kebohonganmu.
Setelah kutekan tombol share, kulempar ponselku kesembarang arah.
"Mana Rendy yang mencintaiku?!" Teriakku putus asa.
"Argh.. Argh.. Argh.. Argh.." Aku mengiris tanganku kembali
disetiap teriakanku. Kini terdapat lima buat sayatan bejajar ditangan kiriku,
yang membuat darah keluar semakin banyak.
"Tha! Jangan main-main! Buka pintunya." Kembali Rendy menggedor
pintuku.
Aku tersenyum miris, seandainya dia memang khawatir padaku, dia sudah
mendobrak pintu itu sedari tadi.
"Mengecewakan" Lirihku.
Aku menaiki ranjangku dan kucolek sedikit darahku dengan telunjuk kananku.
I
Aku menuliskan kata-kata yang ingin kuucapkan padanya, yang kuragukan
terbalas olehnya.
L
Kepalaku serasa berputar, tubuhku mulai melemas.
O
Mulut dan tenggorokanku serasa kering, ingin aku berteriak.
V
Rasa dingin mulai menyebar pada tubuhku, sepertinya darahku mulai terkuras
E
Senyum miris terukir dibibirku, mengapa gedoran pada pintu kamarku sudah
terhenti?
"Haha" Aku tertawa pelan
R
Aku mulai berat menggerakkan tanganku, aku ingin menyelesaikan kalimatku.
E
Gelap menguasai penglihatanku sebelum aku tak sadarkan diri.
---
Aku keluar dari kamar Samantha dengan perasaan jengkel, seolah hanya aku
yang bersalah.
"Rendy!" Mirna menghampiriku.
"Hmm..." Aku menahut malas.
"Kenapa lu pacaran sama dia? Padahal lu jelas-jelas udah punya
Samantha." Mirna menatapku dengan sorot marah.
"Dia juga nggak setia sama gua, kenapa gua harus setia?"
"Dia udah cinta mati sama lu! Dari mana lu dapet pikiran dia
nyeleweng?"Mirna masih menatapku dengan emosi.
"Raka itu siapa?"
"Hahaha.." Mirna tertawa kering."Raka itu cuma temen yang
suka ngobrol sama Tha diblognya dia. Dan terutama lagi, dia itu GAY!"
Mirna berteriak kesal. "Lu tau kan, Samantha kalau udah emosi kayak
gimana? Dia bisa aja ngabisin nyawanya sendiri didalem sana!" Mirna
menunjuk kamar Samantha.
Sepercik sesal dan khawatir menyusup dalam hatiku. Aku kembali kearah aku
berjalan tadi dan kutempelkan telingaku pada daun pintu kamarnya.
I love Rendy, but he love me not
I was always miss him, but i think he only saying that he miss me
Senandungan kalimat dengan isak tangis yang membuatku tersentak, aku begitu
menyesal tak mempercayainya, dan yang paling membuatku sesak.. Aku begitu
menyesal mengkhianatinya.
Aku sadar aku begitu menyayanginya...
Dengan lembut aku mengetuk pintu kamarnya.
"Tha.." Aku memanggilnya.
"Pergi.." Suaranya begitu lirih, ingin aku merengkuhnya.
"Tha.. buka pintunya." Aku mulai berkata dengan nada memohon.
"PERGI!" Aku tersentak, dia berteriak padaku.
"Maaf, Tha. Please keluar, kita omongin baik-baik."
"Nggak ada yang perlu diomongin."
"Perlu, Tha."
"Aku mau Rendy.. aku mau Rendyku yang dulu." Dia sepertinya
meracau, dan aku tak mengerti apa maksudnya.
"Aku Rendy, Tha. Aku masih yang dulu."
"Mana?!" Apa maksudnya?
"Mana Rendy yang selalu nemenin aku?" Mulai terdengar isakan dari
dalam, selagi dia berkata.
"Mana Rendy yang selalu khawatir sama aku? Argh!" Aku memundurkan
tubuhku saat sesuatu menabrak pintu didepanku.
"Mana Rendy yang selalu nemenin
aku saat aku sakit?" Isakannya semakin terdengar keras, aku menyandarkan
punggungku pada pintu kamarnya dan mengusap wajahku perlahan.
"Mana Rendy yang selalu punya waktu untukku?" Perlahan air mata
mengaliri pipiku. Aku menangis. Baru kusadari selama ini aku begitu egois.
"Mana Rendy yang selalu punya kata-kata manis untukku?" Dia
terdengar begitu putus asa.
"Argh!" Aku tersentak, apa yang terjadi didalam?
"Tha? Kamu kenapa? Tha, buka pintunya" Aku segera membalikkan
tubuhku dan menggedor pintu kamarnya.
"Mana Rendy yang mencintaiku?!" Hatiku bagai tertusuk sebuah
pedang, memang aku bertindak seolah sayang padanya. Tapi kusadari, belakangan
aku begitu egois. Aku menemaninya seolah itu hanya sebuah kewajibanku. Aku
mengiriminya pesan seolah itu kehendak orang tuaku.
"Argh.. Argh.. Argh.. Argh.." Kini aku benar-benar khawatir.
"Tha! Jangan main-main! Buka pintunya." Aku menggedor pintunya,
tapi tak dibukanya. Ada dorongan untuk mendobrak pintu kamarnya, tetapi aku
terlalu takut.
"Mengecewakan" Ya, aku memang telah mengecewakanmu, Tha.
Aku segera berlari kebawah dan mencari kunci cadangan kamarnya.
"CICI!" Panggilku.
"Ya?" Dia datang dengan raut kesal.
"Mana kunci serep kamar Samantha?" Aku bertanya dengan
terburu-buru.
"Dobrak aja, aku nggak tahu." Ucapnya sembari berlalu.
Aku yang kesal segera kembali berlari keatas dan mendobrak pintu kamarnya.
Aku melihatnya terbaring membelakangiku diatas tempat tidurnya. Kamarnya
berantakan dan barang barang bertebaran. Kapas-kapas yang sepertinya dari
bantal memenuhi lantai..
Tetapi kapas tersebut berwarna merah, kuperhatikan banyak bercak merah
dilantai kamarnya, begitu pula di tempat tidurnya, dan kusadari asalnya dari
lengan Samantha.
Didinding sisi tempat tidurnya tertulis dengan darah... I L O V E
R E
Segera aku mengambil ponselku dan menghubungi ambulance, kuraih badannya
yang lebih kecil dariku dan kupeluk.
"Tha.." Aku berucap lirih.
"Maafin aku, Tha.." Tanpa sadar aku menangis. Aku sadar aku
laki-laki, tetapi tak ada salahnya aku menangis. Karena menangis itu baik,
sebab itu adalah mekanisme yang Tuhan ciptakan untuk membuang luapan emosi yang
terpendam.
Aku tak ingin kehilangannya. Kueratkan pelukanku padanya, badannya terasa
dingin.
"Tha.. aku sayang kamu, Tha." Aku mengusap rambutnya perlahan,
seolah jika sedikit saja aku salah menyentuhnya, dia akan hancur.
Tak pernah terbayangkan dalam mimpiku akan melihatnya seperti ini.
"Tha.. Maaf aku selalu ngecewain kamu. Maaf aku nggak berusaha
ngeluangin waktu untukmu. Maaf aku selalu buat kamu sedih." Aku menangis
tanpa terisak, hanya air mata yang turun dari matakulah yang menandakan aku
sedang menangis.
"Tha.. Aku nggak mau kehilanganmu, Tha.." Aku berkata lirih,
menopangkan daguku pada puncak kepalanya.
Terus aku bertahan pada posisi itu hingga suara khas ambulance
menyadarkanku dan membuatku segera menggendongnya dan membawanya turun.
Selama di dalam ambulance, aku hanya menatap wajahnya yang pucat. Sembari
terus menggenggam tangannya yang dingin dan pucat.
---
Aku membuka mataku yang terasa berat, ketika cahaya mencoba menerobos
mataku, aku merasa pening sehingga kututup lagi mataku. Aku merasakan perih
pada lengan kiriku, namun tak seberapa jika dibandingkan dengan perih dihatiku.
Kecewa, sedih... Putus asa.
Kurasakan genggaman pada tangan kananku, hangat. Genggaman yang kurindukan.
Kembali kubuka mataku dan yang kulihat ruangan didominasi warna putih. Satu
kesimpulan yang kudapat, aku berada dirumah sakit. Ku lihat Rendy yang duduk
dengan membaringkan kepalanya disisi ranjang rumah sakit tempatku terbaring.
Rasa sakit kembali menyapa hatiku.
Aku hanya bisa merepotkannya, menyusahkannya. Aku hanya bisa mengekangnya
dan mengambil kebebasannya. Aku sadar aku terlalu egois akan cintaku.
Seharusnya aku sadar bahwa aku hanya menjadi penghalangnya.
Kulihat dia mengangkat kepalanya dan menatapku. Kulihat dan kuselami
matanya, mata yang sangat kurindukan kehangatannya, rindu melihat sorot penuh
cinta dari sana, tetapi kini yang kulihat hanya kekhawatiran. Kembali rasa
bersalah memenuhi hatiku.
"Tha.. Udah bangun? Mau apa?" Raut khawatir masih setia pada mata
dan wajahnya.
"Pergi.." Aku berkata lirih.
"Kenapa?" Dia menatapku, bingung.
"Pergi.. Please pergi.." Aku merasa bagai seorang yang kejam.
Sorot terluka terlihat dari matanya. Mata pujaanku.
"Nggak, aku nggak akan pergi. Aku bakal temenin kamu sampai
sembuh." Ucapnya ngotot.
Aku trenyuh, tetapi aku tak bisa seperti ini.
"Nggak bisa, please jangan siksa aku. Jangan kasi harapan seolah-olah
kamu mencintaiku. Dan terutama jangan siksa dirimu sendiri, Ren.."
"Tapi aku memang mencintaimu.." Aku melihat ketulusan, yang
membuatku ragu akan apa yang sudah menjadi keputusanku. Tetapi aku tak boleh
lagi mengekangnya.
"Jangan bohongi dirimu sendiri."
"Aku tahu aku salah, aku tahu aku udah nyakitin kamu, apa kamu nggak
bisa ngasi aku kesempatan buat merbaikin semuanya?"
"Nggak ada yang perlu diperbaiki, dari awal hubungan kita emang salah,
kita dijodohin dan aku sadar. Hubungan dengan perjodohan nggak akan
berhasil." Susah payah aku menahan isakanku, agar tak memberinya alasan
untuk tinggal.
"Aku cinta sama kamu, Tha. Please... Maafin aku." Rendy
menggenggam jariku dengan lembut. Kulihat matanya memerah seolah ingin
menangis, dan aku benar-benar tak tega melihatnya.
"Kamu nggak cinta sama aku, udah berapa cewek yang kamu kasi kata-kata
itu?" Aku memang kejam, ya aku kejam. "Maaf selama ini keberadaanku
ngekang kamu. Aku bakal pergi dari hidupmu, aku bakal nyoba hapus kamu dari
hidupku."
"Kamu nggak bisa, kamu bilang kamu cinta sama aku! Aku juga cinta
kamu, Tha"
"Bisa, aku bisa ngapus kamu dari hidupku, itu bukan hal yang susah,
Ren." Kini kami sama-sama menangis, tanpa isakan. Aku merasa begitu
bersalah melihatnya seperti itu. "Tapi memang, aku nggak akan bisa ngapus kamu
dari hatiku."
"I've fall for you, Tha."
"Kamu bohong!" Aku mulai terisak, dia menarik tubuhku dan
memelukku.
"I realy do. Please jangan hapus aku dari hidupmu, Tha. Aku nggak
sanggup."
"Kamu sanggup jalin hubungan sama orang lain, kenapa nggak sanggup
ngapus aku dari hidupmu? Munafik." Ucapku dalam isakanku.
"Maaf, Tha. Aku tahu aku salah, susahkah bagimu buka hatimu lagi? Aku
emang salah, Tha."
Aku mendorong tubuhnya, dan mengambil pisau buah di meja dekat ranjangku.
Aku mengarahkannya pada lenganku yang baru saja dijahit.
"Pergi, PERGI!" Raungku. Aku melihatnya terkejut, dan raut sedih
mengusai wajahnya. Ingin ku sentuh wajahnya, tapi kutahan demi kebahagiaannya.
Dan kulihat punggungnya menjauhiku.. Rasa sesak meliputi hatiku, menyesal?
Tidak, karena aku telah melepasnya demi kebahagiaannya.
---
End.
---
Jika suatu saat kau harus pergi..
Jangan paksa aku tuk cari yang lebih baik..
---
Hidup ini begitu rentan. Tak ada yang namanya kebahagiaan, semua ini semu.
Tak ada yang namanya akhir, semua ini proses.
---
Semua yang sudah terjadi tidak bisa dikembalikan lagi. Menyesalpun tidak
berguna.
---
You will never know how much I love you, And I never regret to feel this
way, Thank you for teaching me, Love.
---
1 comment:
heh?? end nih?? gantung endingnya??
eh ta, itu penulisan yang sms dikasih jarak kek biar ketauan itu sms bukan gambaran ceritanya
Post a Comment