Dan sampai saat inipun, masih susah untukku percaya bahwa
dirinya...
Gay...
---
"Na, boleh ga gua nanya sesuatu?" Shantika
berusaha menjajari langkahku yang tergesa.
"Hmm?" Aku hanya bergumam tanda memperbolehkannya,
sembari menyesap minuman yang kubawa.
"Kenapa lu yakin lu kagak bisa jadi pacarnya
Dima?" Seketika aku tersedak. Shantika yang terkejut menepuk nepuk
punggungku pelan membantu melancarkan pernafasanku.
"Gua salah nanya yah?" Ucapnya dengan mimik tak
berdosa.
"Kagak sih, gua cuma kaget" Aku menyahut, masih
sambil menetralkan nafasku yang terburu akibat tersedak.
"Trus gua boleh tau jawabannya kagak?" Shantika
kembali bertanya.
"Emang apa pentingnya Ka?" Aku berusaha menhindar.
"Hhhh, ya gua yakin aja Ka, gua bukan Samantha yang
meski tomboy tapi punya muka manis, gua juga bukan lu Ka, yang bisa dengan
gampangnya bergaul sama orang yang lu suka." Aku berusaha untuk tidak
mengatakan yang sebenarnya, meski yang kukatakan adalah benar.
"Ooohh.. lu minder gitu? Gua ajarin dandan lu
mau?" Ucapnya riang. "Yang pasti jangan minta diajarin sama
Samantha" Shantika terlihat bergidik.
"Ga perlu Ka" Aku berusaha tersenyum, meski
rasanya yaahh, agak sulit. "I like who I am, and I'm still trying to be
myself" Aku berkata ringan.
"Kalau gitu kenapa lu ngerasa minder?" Shantika
kembali bertanya.
"Ya gitulah Ka, Love never face me right" Tanpa
sadar aku berucap sembari menerawang.
"Never face you right? Kenapa? Dia bukan orang yang
salah kan Na, lu aneh deh."
Aku hanya bisa tersenyum menanggapinya.
---
"Tha..." Aku mendekati Samantha yang merenung di
halaman samping gedung kelasnya. Aku melihatnya tetap termenung, tak menanggapi
panggilanku. "Boleh gua duduk disini?" Aku menghampirinya, tanpa
menunggu jawabannya aku langsung menduduki tempat disebelahnya. Tempat ini,
sering dipakainya untuk merenung atau hanya bersantai, jam istirahat sekolah
kami yang memang lama membuat tempat ini menjadi tempat favoritnya. Selain
tempatnya tepat dibawah pohon yang rindang, tempat ini juga jarang didatangin
para siswa dan siswi karena tak ada satupun bangku taman.
Kembali kulihat Samantha yang duduk bersandar pada pohon
sembari menekuk lututnya.
"Tha..." Kembali aku menyebut namanya lirih, sulit
untukku menerima sahabatku yang biasanya riang menjadi seorang perenung dan
pendiam. Hanya karena kepergian Rendy.
"Nanti kita jalan-jalan yuk Tha" Aku berusaha
membuka percakapan, meski tak terlalu yakin akan dijawabnya. "Kemana aja
yang lu mau, kepantai, ke mall, ke taman hiburan, bioskop." Menjaga
agar suaraku tetap riang, susah rasanya.
"Katanya ada film yang baru release, kita nonton yuk,
bertiga, atau bisa ajak Denin."
"Gua mau sendiri dulu Na" Akhirnya ucapanku dijawabnya,
meski bukan jawaban yang kuharapkan.
"Kenapa?" Aku menatapnya.
"..."
"..."
Kesunyian yang tak kuharapkan yang akhirnya menguasai. Aku
mengerti, sulit baginya untuk menerima kepergian seseorang yang dicintainya,
bahkan sebelum dia sempat mengutarakan perasaannya. Tetapi aku juga tak ingin
sahabatku menjadi terlarut dalam kesedihan yang mendalam seperti ini.
Salahkah aku mencoba menghiburnya? Andaikan ada seseorang
yang bisa membuatnya kembali bersemangat. Seseorang yang bisa menggantikan
kehadiran Rendy di hatinya.
Seseorang yang bisa membuatnya kembali menunjukkan senyum
manisya. Andaikan kenangan akan Rendy bisa terhapus dari pikirannya.
"Gua kekelas duluan" Samantha berdiri dan
melangkah mendahuluiku.
"Tha..." Aku berusaha menahannya, mencekal lengannya.
"Belum bel" Biarpun kesunyian yang akan menguasai kami, aku ingin
menghabiskan waktuku bersama sahabatku, meski tak bisa mengobrol seperti
dahulu, meskipun segalanya akan berubah.
Samantha melepaskan cekalanku dan kembali melangkah tanpa
mengatakan sepatah katapun.
Aku hanya bisa menatap punggungnya, menatap kepergiannya.
"Rendy..." Tanpa sadar aku menggumamkan namanya.
---
"Baiklah semuanya, tes musik klasik akan ibu mulai
minggu depan. Bisa kalian bawakan dengan kelompok yang sudah ibu tetapkan."
Setelah itu guru musik klasik kami meninggalkan ruangan sebelum bel pulang berbunyi. Seperti biasanya.
Setelah itu guru musik klasik kami meninggalkan ruangan sebelum bel pulang berbunyi. Seperti biasanya.
"Hei" Dima menyapaku.
"Hai juga" Aku membalasnya, tanpa menatap
wajahnya. Karena memang, aku sedang sibuk membereskan buku bukuku yang sudah
biasa berserakan.
"Arrgghh" Aku mengerang sebal saat buku yang sudah
kubereskan tersenggol dan terjatuh.
"Lu emang ceroboh ya?" Dia bertanya, sembari
menahan tawa.
"Apa sih" Ujarku sebal. "Bantuin dong"
Aku memintanya sembari membungkuk membenahi bukuku.
"Baru tahu gua ada anak SMA seceroboh lu, tadi pagi lu
kan yang nabrak gua?" Ujarnya, tangannya mengulurkan buku buku yang sudah
dia kumpulkan.
"Thanks" Aku berkata singkat sambil memasukkan
buku buku yang sudah tersusun rapih itu kedalam tasku.
"So?" Dia bertanya. Aku yang tak mengerti maksud
dari pertanyaanya hanya memiringkan kepalaku, tanda tak mengerti. "Hhh,
tes musik klasik neng, kapan lu mau latihan? Jujur gua belum bisa nyatuin irama
kita."
"Kapan aja lu punya waktu, I'm free"
"Pulang sekolah?"
"Ok, tapi gua pulang dulu, mau ganti baju."
"Langsung aja ya, lu tahu kan rumah gua dimana?"
"Hmm." Aku bergumam singkat.
"Ga usah susah susah bawa biola, gua punya
dirumah."
"Gua ga bisa make biola yang bukan punya gua, sorry
ya" Aku menunjukkan mimik penyesalan.
"Ok, no prob lah. Mana aja lu nyamannya. Oke gua duluan
ya." Dia menyampirkan tasnya yang tadi dia letakkan diatas bangkuku, dan
berlalu.
"Huff" Aku mendesah. Bagaimana caraku untuk bisa
tak menyukainya, mencintainya, jika sikapnya selalu baik. Aku mengurut
pelipisku, mencoba menghilangkan rasa pening yang tiba tiba menyerangku.
Andaikan aku bisa mengubahnya menjadi normal, 'Haha, picik sekali lu Na' aku
berkata dalam hatiku.
Aku mengambil tasku dan menyampirkannya disebelah bahuku.
Aku melangkah keluar kelas dan tanpa menunggu Shantika aku masuk kedalam
mobilku dan mengendarainya.
Kupasang hanphone handsfreeku dan menghubungi Shantika.
Sayangnya Hpnya dinon aktifkan.
"Ka, gua pulang duluan, mau latihan buat tes musik
klasik, sorry ya, bye."
Aku mengiriminya pesan suara, sekedar memberitahukannya
saja.
Sesampainya aku dirumah akku segera meletakkan tasku,
mengambil beberapa teks musik klasik yang lumayan kukuasai dan mengambil
biolaku.
Sesegera mungkin aku mengganti bajuku dan kembali memasuki
mobilku. Aku tak heran mengapa aku bisa tiba tiba merasa harus terburu buru,
padahal biasanya aku lebih suka santai dan tak memburu apa yang kukerjakan. Aku
mengerti apa yang sedang kualami, aku sangat mengerti. Aku takkan menjadi
seperti ini jika bukan karna aku akan kerumahnya, latihan bersama Dima.
Ting Tong
Ting Tong
Ting Tong
Aku memencet bel rumahnya tiga kali dan memutuskan untuk
menunggu sang pemilik rumah membukakan pintu. Akhirnya setelah beberapa saat
menunggu, Dima menunjukkan wajahnya dari balik pintu yang baru dibukanya.
"Yuk masuk" Ajaknya.
Diruang tamunya kulihat ada seorang remaja laki laki, kira
kira seumuran denganku dan Dima, duduk dengan santai. Menonton TV sambil asik
memakan kacang.
"Oh iya, Na. Kenalin." Aku heran, biasanya
seseorang yang akan mengenalkan kenalannya akan mengucapkan status mereka.
Adiklah, kakaklah, temanlah. Dan baru kali ini aku tak mendapati seseorang yang
seperti itu.
"Gua Rifal. Panggil aja Fal." Ucapnya. Suaranya
ajak mendayu lembut. 'Seperti perempuan' pikirku.
"Gua Ratna, panggil aja Na."
"Dia pacar gua Na" Dima berkata santai.
Aku hanya bisa tertegun menatap keduanya. Menikmati sensari
perih menusuk dalam dadaku. Sebisa mungkin aku menahan agar aku tak menitikkan
air mata.
'Gua emang lemah' Ujarku dalam hati.
Sensasi rasa panas yang menjalar hingga kekepalaku, kucoba
untuk menikmatinya. Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang sulit untukku.
Tak bisa kupungkiri Rifal memang tampan. Sangat setimpal
dengan Dima yang maskulin, Rifal memiliki wajah yang imut dan manis. Dan aku
menyesali keputusanku untuk terburu buru ketempat ini.
No comments:
Post a Comment