^^ About Me ^^

Love Flew - Part 4

Dan sampai saat inipun, masih susah untukku percaya bahwa dirinya...
Gay...

---

"Na, boleh ga gua nanya sesuatu?" Shantika berusaha menjajari langkahku yang tergesa.
"Hmm?" Aku hanya bergumam tanda memperbolehkannya, sembari menyesap minuman yang kubawa.
"Kenapa lu yakin lu kagak bisa jadi pacarnya Dima?" Seketika aku tersedak. Shantika yang terkejut menepuk nepuk punggungku pelan membantu melancarkan pernafasanku.
"Gua salah nanya yah?" Ucapnya dengan mimik tak berdosa.
"Kagak sih, gua cuma kaget" Aku menyahut, masih sambil menetralkan nafasku yang terburu akibat tersedak.
"Trus gua boleh tau jawabannya kagak?" Shantika kembali bertanya.
"Emang apa pentingnya Ka?" Aku berusaha menhindar.
"Ayolah gua penasaran Na" Shantika mendesakku.
"Hhhh, ya gua yakin aja Ka, gua bukan Samantha yang meski tomboy tapi punya muka manis, gua juga bukan lu Ka, yang bisa dengan gampangnya bergaul sama orang yang lu suka." Aku berusaha untuk tidak mengatakan yang sebenarnya, meski yang kukatakan adalah benar.
"Ooohh.. lu minder gitu? Gua ajarin dandan lu mau?" Ucapnya riang. "Yang pasti jangan minta diajarin sama Samantha" Shantika terlihat bergidik.
"Ga perlu Ka" Aku berusaha tersenyum, meski rasanya yaahh, agak sulit. "I like who I am, and I'm still trying to be myself" Aku berkata ringan.
"Kalau gitu kenapa lu ngerasa minder?" Shantika kembali bertanya.
"Ya gitulah Ka, Love never face me right" Tanpa sadar aku berucap sembari menerawang.
"Never face you right? Kenapa? Dia bukan orang yang salah kan Na, lu aneh deh."
Aku hanya bisa tersenyum menanggapinya.

---

"Tha..." Aku mendekati Samantha yang merenung di halaman samping gedung kelasnya. Aku melihatnya tetap termenung, tak menanggapi panggilanku. "Boleh gua duduk disini?" Aku menghampirinya, tanpa menunggu jawabannya aku langsung menduduki tempat disebelahnya. Tempat ini, sering dipakainya untuk merenung atau hanya bersantai, jam istirahat sekolah kami yang memang lama membuat tempat ini menjadi tempat favoritnya. Selain tempatnya tepat dibawah pohon yang rindang, tempat ini juga jarang didatangin para siswa dan siswi karena tak ada satupun bangku taman.
Kembali kulihat Samantha yang duduk bersandar pada pohon sembari menekuk lututnya.
"Tha..." Kembali aku menyebut namanya lirih, sulit untukku menerima sahabatku yang biasanya riang menjadi seorang perenung dan pendiam. Hanya karena kepergian Rendy.
"Nanti kita jalan-jalan yuk Tha" Aku berusaha membuka percakapan, meski tak terlalu yakin akan dijawabnya. "Kemana aja yang lu mau,  kepantai, ke mall, ke taman hiburan, bioskop." Menjaga agar suaraku tetap riang, susah rasanya.
"Katanya ada film yang baru release, kita nonton yuk, bertiga, atau bisa ajak Denin."
"Gua mau sendiri dulu Na" Akhirnya ucapanku dijawabnya, meski bukan jawaban yang kuharapkan.
"Kenapa?" Aku menatapnya.
"..."
"..."
Kesunyian yang tak kuharapkan yang akhirnya menguasai. Aku mengerti, sulit baginya untuk menerima kepergian seseorang yang dicintainya, bahkan sebelum dia sempat mengutarakan perasaannya. Tetapi aku juga tak ingin sahabatku menjadi terlarut dalam kesedihan yang mendalam seperti ini.
Salahkah aku mencoba menghiburnya? Andaikan ada seseorang yang bisa membuatnya kembali bersemangat. Seseorang yang bisa menggantikan kehadiran Rendy di hatinya.
Seseorang yang bisa membuatnya kembali menunjukkan senyum manisya. Andaikan kenangan akan Rendy bisa terhapus dari pikirannya.
"Gua kekelas duluan" Samantha berdiri dan melangkah mendahuluiku.
"Tha..." Aku berusaha menahannya, mencekal lengannya. "Belum bel" Biarpun kesunyian yang akan menguasai kami, aku ingin menghabiskan waktuku bersama sahabatku, meski tak bisa mengobrol seperti dahulu, meskipun segalanya akan berubah.
Samantha melepaskan cekalanku dan kembali melangkah tanpa mengatakan sepatah katapun.
Aku hanya bisa menatap punggungnya, menatap kepergiannya.
"Rendy..." Tanpa sadar aku menggumamkan namanya.

---

"Baiklah semuanya, tes musik klasik akan ibu mulai minggu depan. Bisa kalian bawakan dengan kelompok yang sudah ibu tetapkan."
Setelah itu guru musik klasik kami meninggalkan ruangan sebelum bel pulang berbunyi. Seperti biasanya.
"Hei" Dima menyapaku.
"Hai juga" Aku membalasnya, tanpa menatap wajahnya. Karena memang, aku sedang sibuk membereskan buku bukuku yang sudah biasa berserakan.
"Arrgghh" Aku mengerang sebal saat buku yang sudah kubereskan tersenggol dan terjatuh.
"Lu emang ceroboh ya?" Dia bertanya, sembari menahan tawa.
"Apa sih" Ujarku sebal. "Bantuin dong" Aku memintanya sembari membungkuk membenahi bukuku.
"Baru tahu gua ada anak SMA seceroboh lu, tadi pagi lu kan yang nabrak gua?" Ujarnya, tangannya mengulurkan buku buku yang sudah dia kumpulkan.
"Thanks" Aku berkata singkat sambil memasukkan buku buku yang sudah tersusun rapih itu kedalam tasku.
"So?" Dia bertanya. Aku yang tak mengerti maksud dari pertanyaanya hanya memiringkan kepalaku, tanda tak mengerti. "Hhh, tes musik klasik neng, kapan lu mau latihan? Jujur gua belum bisa nyatuin irama kita."
"Kapan aja lu punya waktu, I'm free" 
"Pulang sekolah?"
"Ok, tapi gua pulang dulu, mau ganti baju."
"Langsung aja ya, lu tahu kan rumah gua dimana?"
"Hmm." Aku bergumam singkat.
"Ga usah susah susah bawa biola, gua punya dirumah."
"Gua ga bisa make biola yang bukan punya gua, sorry ya" Aku menunjukkan mimik penyesalan.
"Ok, no prob lah. Mana aja lu nyamannya. Oke gua duluan ya." Dia menyampirkan tasnya yang tadi dia letakkan diatas bangkuku, dan berlalu.
"Huff" Aku mendesah. Bagaimana caraku untuk bisa tak menyukainya, mencintainya, jika sikapnya selalu baik. Aku mengurut pelipisku, mencoba menghilangkan rasa pening yang tiba tiba menyerangku. Andaikan aku bisa mengubahnya menjadi normal, 'Haha, picik sekali lu Na' aku berkata dalam hatiku.
Aku mengambil tasku dan menyampirkannya disebelah bahuku. Aku melangkah keluar kelas dan tanpa menunggu Shantika aku masuk kedalam mobilku dan mengendarainya.
Kupasang hanphone handsfreeku dan menghubungi Shantika. Sayangnya Hpnya dinon aktifkan.
"Ka, gua pulang duluan, mau latihan buat tes musik klasik, sorry ya, bye."
Aku mengiriminya pesan suara, sekedar memberitahukannya saja.
Sesampainya aku dirumah akku segera meletakkan tasku, mengambil beberapa teks musik klasik yang lumayan kukuasai dan mengambil biolaku.
Sesegera mungkin aku mengganti bajuku dan kembali memasuki mobilku. Aku tak heran mengapa aku bisa tiba tiba merasa harus terburu buru, padahal biasanya aku lebih suka santai dan tak memburu apa yang kukerjakan. Aku mengerti apa yang sedang kualami, aku sangat mengerti. Aku takkan menjadi seperti ini jika bukan karna aku akan kerumahnya, latihan bersama Dima.
Ting Tong
Ting Tong
Ting Tong
Aku memencet bel rumahnya tiga kali dan memutuskan untuk menunggu sang pemilik rumah membukakan pintu. Akhirnya setelah beberapa saat menunggu, Dima menunjukkan wajahnya dari balik pintu yang baru dibukanya.
"Yuk masuk" Ajaknya.
Diruang tamunya kulihat ada seorang remaja laki laki, kira kira seumuran denganku dan Dima, duduk dengan santai. Menonton TV sambil asik memakan kacang.
"Oh iya, Na. Kenalin." Aku heran, biasanya seseorang yang akan mengenalkan kenalannya akan mengucapkan status mereka. Adiklah, kakaklah, temanlah. Dan baru kali ini aku tak mendapati seseorang yang seperti itu.
"Gua Rifal. Panggil aja Fal." Ucapnya. Suaranya ajak mendayu lembut. 'Seperti perempuan' pikirku.
"Gua Ratna, panggil aja Na."
"Dia pacar gua Na" Dima berkata santai.
Aku hanya bisa tertegun menatap keduanya. Menikmati sensari perih menusuk dalam dadaku. Sebisa mungkin aku menahan agar aku tak menitikkan air mata.
'Gua emang lemah' Ujarku dalam hati.
Sensasi rasa panas yang menjalar hingga kekepalaku, kucoba untuk menikmatinya. Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang sulit untukku.
Tak bisa kupungkiri Rifal memang tampan. Sangat setimpal dengan Dima yang maskulin, Rifal memiliki wajah yang imut dan manis. Dan aku menyesali keputusanku untuk terburu buru ketempat ini.

No comments:

Followers