"Karena aku dan dia takkan bisa terpisahkan."
"Kami adalah satu."
-----------------------
"Ini semua karena Papa! Rina hilang karena Papa! Coba dari awal kalian dengarkan Mama, ini takkan terjadi."
Aku menutup telingaku dari suara orang tuaku yang sedang berada di ruang keluarga. Masalah apapun selalu menjadi bahan pertengkaran oleh mereka. Aku sudah muak. Hatiku rasanya tercabik mengingat aku tak memiliki siapapun lagi yang ku percayai.
"Kenapa ini salah Papa?! Mama juga yang memberikan majalah itu padanya. Jika Mama tak memberikan majalah itu Rina dan Tina takkan melihat ada acara itu!"
"Papa selalu saja menyalahkan orang lain!"
"Karena Mama memang salah!"
Pertengkaran mereka benar-benar membuatku pusing dan muak. Apakah
Aku berlari menuju pintu belakang rumahku sembari memeluk erat foto seseorang yang sangat berarti bagiku. Satu-satunya orang yang paling ku sayangi, ku percayai. Bukan orang tuaku, bukan temanku karena aku tak memiliki teman, apalagi sahabat.
Hanya dia yang bisa membuatku tersenyum. Seiring dengan langkahku yang teramat perlahan, tetes-tetes bening mengalir dari manik coklatku. Mengingat aku tak memiliki apapun lagi, siapapun lagi.
Setengah dari jiwaku pergi seiring dengan hilangnya dia dari sisiku. Jiwa yang selalu ada untukku sejak keluarnya aku dari rahim ibuku. Seseorang yang sangatlah berarti untukku telah meninggalkanku untuk selama-lamanya.
Saudara kembarku.
Kuperhatikan foto seorang gadis berambut hitam kemerahan yang memiliki wajah yang serupa dengan milikku. Tetes-tetes airmata menghiasi foto yang kudekap sedari kemarin.
Aku tak memiliki apapun lagi, tidak memiliki harapan, maupun tujuan. Semangat hidupku hilang seiring dengan perginya dia.
Ku arahkan pangdanganku pada langit yang tidak berawan. Apakah kau ada disana sekarang? Apakah kau sedang memperhatikanku sekarang? Bolehkan aku menyusulmu?
Aku mengembalikan pandanganku ke depan. Ke arah jalan raya yang kebetulan sedang tidak terlalu padat. Baru kusadari aku telah berdiri di atas trotoar. Deru mobil terdengar dari arah kananku dan aku melirikkan mataku untuk melihat mobil tersebut.
Tanpa kusadari tubuhku bergerak maju, menantang mobil tersebut.
Tubuhku terhempas kuat karena sudah terlambat bagi mobil tersebut untuk mengerem. Tak ada rasa sakit ataupun nyeri yang kurasa. Hanya hampa.
Kubuka mataku dan ku angkat tanganku ke atas mataku. Ada tangan lain di balik tanganku, ketika aku menyingkirkan tanganku dari pandanganku, dia telah berdiri menjulang di hadapanku. Jiwaku, hidupku. Harapanku.
"Mengapa kamu menyusul?"
Tanyanya dengan senyum dibibirnya.
.
No comments:
Post a Comment