------------------------------------------------------------------------------------
Aku melihatnya, disana. Selama ini aku selalu
memperhatikannya, dan dia memang selalu seperti itu. Menyendiri dan tenggelam
dalam dunianya. Aku memberanikan diriku menghampiri tempatnya berteduh, dibawah
sebuah pohon rindang yang aku sendiri tak yakin apa jenisnya. Dia menyadari
kehadiranku, aku tahu dia menyadari kehadiranku bahkan setiap orang yang
mendekatinya. Dia yang menyadari keberadaanku bukan berarti dia menghiraukan
diriku. Bahkan mungkin, dia tak menghiraukan apapun yang ada disekelilingnya.
Dia mengenakan earphone dan terlihat sedang membaca sebuah buku. Novelkah?
Bukan, ketika kuperhatikan lagi ternyata sebuah ensiklopedia dunia. Dan aku
semakin heran mengapa aku menyukainya, ah tidak... mencintainya.
Seperti biasa aku duduk disebelahnya dan dia tetap
tak memperdulikan diriku. Sedikitpun.
"Hai" Sapaku, berusaha mengalihkan
perhatiannya dari buku konyolnya itu.
Dia hanya memandangku sekejap, mengangkat alisnya, kemudian kembali membaca ensiklopedianya yang berharga. Mengejutkan? Bagiku tidak. Karena reaksinya memang hampir selalu seperti itu. Hanya terkadang saja dia akan membalas sapaanku, dan tersenyum. Membuatku selalu berharap setiap hari menjadi 'terkadang'.
"Hhh" Aku menghela nafasku, berat. Yang
bisa kulakukan hanyalah ikut bersandar pada batang kayu yang kokoh sembari
memasangkan sebelah earphone pada sebelah telingaku. Hanya untuk berjaga-jaga
agar aku bisa mendengarnya ketika dia bersuara. Hahaha. Aku sudah gila. Ya,
gila karenanya.
Sembari berusaha menikmati musik, aku mencoba
melirik kearahnya dan dia tampak begitu nyaman tenggelam dalam dunianya.
Sesekali, kulihat dia membalik halaman demi halaman, menandakan bahwa dia
memang sedang membaca. Tak sengaja, mataku menangkap sebuah benda disebelahnya,
dibungkus dengan tas hitam. Gitar? Ah, tak mungkin, ukurannya terlalu kecil
untuk sebuah gitar... Kalau begitu, biolakah? Seseorang dengan pribadi
misterius dan sebuah biola? Sepertinya aku benar-benar tidak mengenalnya, tidak
mengetahui apapun tentang dirinya kecuali bahwa dia seorang perempuan dan
kuliah ditempat yang sama denganku. Jurusannyapun aku tak tahu pasti.
Bahkan jika ada yang bertanya mengapa aku
mencintainya... Jawabannya sudah pasti : 'Aku tak tahu'.
Pertama kali aku melihatnya dia juga ada disini,
sedang menulis sesuatu pada laptopnya. Skripsi? Bukan. Pastinya bukan karena
sepertinya dia mahasiswi semester awal, aku baru melihatnya beberapa bulan yang
lalu. Dan pada saat itu, aku sangat kesal padanya karena saat kuhampiri dan
kusapa... Menganggapku ada saja, dia tidak.
Kembali perhatianku mengarah padanya, membereskan
earphonenya dan menutup ensiklopedianya. Segalanya dia masukkan kedalam tas
selempang coklat yang sepertinya luput dari penglihatanku. Dia menyambar tas
coklat dan tas hitamnya, bangkit lalu berjalan meninggalkanku.
"Kemana?" Tanyaku tanpa merubah
posisiku.
"Kuliah, apa lagi." Nadanya datar saat
dia menjawabku tanpa menolehkan kepalanya. Aku memperhatikannya dan sosoknya
menghilang saat dia menikung.
Aku mengalihkan perhatianku kesamping, tempat dia
tadi berada. Mataku menangkap selempir kertas, sepertinya secara tidak sengaja
dia meninggalkannya. Aku memungutnya dan membaca isinya. 'Selalu didekatmu,
perhatikan aku, jangan yang lain!' Apa ini? Sebuah surat? Pesan? Untuk siapa?
Dari siapa? Aku tak mengenal tulisan tangannya maupun tulisan tangan yang
tertera pada kertas ini, meskipun sedikit familier. Aku memutuskan untuk
menyimpannya dan menanyakan kepadanya kali lain, itupun jika aku bisa
mendapatkan jawaban dari dirinya.
Aku beranjak dan berniat untuk pulang. Jam
kuliahku sudah selesai sedari tadi dan alasanku kemari bukanlah untuk
menghabiskan waktuku melainkan untuk duduk dekat dengannya. Aku mencari
kenyamanan dan menikmati debar halus didadaku. Bukan untuk menarik hatinya...
Karena aku tahu, aku mengerti bahkan sangat mengerti. Dia takkan tertarik pada
orang sepertiku.
------
Aku memasuki rumahku yang kosong, selalu seperti
ini. Orang tuaku berada diluar negeri dan adikku bersekolah pada SMA berasrama.
Bisa dibayangkan bagaimana sepinya hidupku? Aku memasuki kamarku, membereskan
sepatu serta mengganti bajuku. Aku segera menyalakan laptop dan larut dalam dunia
maya.
Merasa sedikit haus, aku bergegas turun tanpa
mematikan koneksi internetku. Kuputuskan untuk meminum segelas air putih dingin
saja. Setelah memuaskan dahagaku, kuisi kembali gelas tersebut dengan air dan
membawanya ke kamarku. Berjaga-jaga jika dahaga kembali menghampiriku.
Ketika aku membuka jendela messengerku, kulihat
ada sebuah invite dari akun yang bernama 'Grey'. Apa aku mengenalnya?
Sepertinya tidak. Aku memperbesar avanya dan membuatku semakin mengerutkan
keningku. Sebuah siluet seorang gadis berambut panjang berkibar dan melihat
kearah latar belakang sunset. Ketika aku memilih tombol 'accept' tak lama
kemudian masuk sebuah chat pada messengerku.
Grey
: Hey ^^
Ren
: Hy, Do I know you? (Hy, apakah aku mengenalmu?)
Selama beberapa saat aku tidak mendapatkan jawaban
tetapi kulihat dia masih dalam mode 'on'.
Grey
: Yes, ofcourse. :D (Ya, tentu saja. :D)
Aku kembali mengerutkan dahiku, sepertinya akan
menyenangkan.
Ren
: Where did we met? (Dimana kita pernah bertemu?)
Grey
: Hey! We are going to a same college. (Hey! Kita kuliah ditempat yang sama)
Aku memutar bola mataku, tahu begitu kugunakan
bahasa Indonesia saja.
Ren
: Jurusan?
Grey
: Ada deh :p
Ren
: Pelit
Grey
: It won't help. (Ga akan membantu) Kamu kenal aku bukan dari jurusanku.
"Samantha" Bisikku lirih.
Ren
: Sam?
Grey : = =" Cewe aneh yang lu suka ikutin itu? Bukanlah.
Grey : = =" Cewe aneh yang lu suka ikutin itu? Bukanlah.
Ren
: Lalu? Kamu siapa?
Seketika kulihat chat boxnya off. Aku begitu
penasaran hingga rasanya perutku sedikit bergejolak. Samantha kah? Ah tidak
mungkin. Dia tak pernah peduli padaku. Bahkan jika dia tahu aku mencintainya.
Lagipula tadi sudah dia katakan bahwa dia bukanlah Samantha.
"Samantha..." Kembali kulirihkan
namanya. Kuputuskan untuk menutup jendela messengerku dan membuka jejaring
sosialku.
'Samantha Indriani' Aku mengetikkan sebuah
nama account yang paling sering kubuka. Meskipun tak bisa memberi rasa nyaman
yang sama kedika aku berada disebelahnya.
Kulihat statusnya yang paling atas, ditulis
beberapa hari yang lalu.
"Sepertinya aku sudah tak bisa mengenali
dirimu yang sekarang"
"Kini kau telah
berubah"
Aku tertegun... Siapakah 'dirimu' yang dia maksud?
Sudah pasti bukan aku, karena aku bukanlah siapapun baginya...
Aku memutuskan untuk membuka e-mailku, siapa tahu
ada beberapa e-mail baru. Jika tidak ada, aku hanya akan membaca e-mail -
e-mail lama yang tak bisa kuingat pengirimnya.
Ternyata tidak ada e-mail yang bisa kubalas, hanya
ada beberapa pemberitahuan dari kampus. Kuarahkan kursor pada tombol 'last' dan
mengekliknya.
From : My lovely
(Manta_Blue@gmail.com) subject : Miss You
Aku memilih untuk membukanya, meskipun aku sudah
nyaris hafal akan isinya karena sudah beberapa kali kubuka.
>Kak Ren..
Kangen, kapan libur?
>Kan baru minggu
lalu aku kesana, Love. Sabar ya ^^
>I miss you, I
hope I can get the same college as you...
>I love you as if
I can die,
>Don't ever leave
me, because i can't life without you
>Never say good
bye, because my heart is in your heart
>Never take it
away
>Because you are
the one that I can love
(Aku merindukanmu, aku
berharap aku bisa mendapatkan kampus yang sama denganmu)
(Aku mencintaimu hingga
ingin mati rasanya)
(Jangan pernah
meninggalkanku, karena aku tak akan bisa hidup tanpamu)
(Jangan pernah ucapkan
selamat tinggal, karena hatiku berada dalam hatimu)
(Jangan pernah
membawanya pergi)
(Karena hanya dirimu
yang bisa kucintai)
Aku tersenyum saat membacanya, sepertinya saat itu
aku memiliki seorang kekasih yang sangat kucintai dan sangat mencintaiku,
sangat disayangkan aku tak dapat mengingatnya.
Aku meraba bagian belakang kepalaku, bekas lukanya
sangat terasa. Tepatnya tahun lalu, aku mendapatkan sebuah kecelakaan yang tak
begitu berat, tetapi akibatnyalah yang lumayan fatal. Beberapa memori tak dapat
kuingat. Tetapi anehnya, beberapa nama teman, alamat e-mail, bahkan makanan
favorite ibuku bisa kuingat.
Satu memori yang sangat kusayangkan akan
kehilangannya, memori tentang kekasihku yang dahulu. Mengapa aku mencintainya?
Mengapa kami berpisah? Meskipun kini aku telah mencintai seseorang yang lain.
Mataku kembali menjelajahi e-mail - e-mail lamaku
dan memutuskan untuk membuka kembali salah satunya.
From : My lovely
(Manta_Blue@gmail.com) subject : New book.
>Hunting buku
hunting buku >///<
>Temenin yuk
Ren...
>Maunya kapan?
Nanti aku kesana, lumayan lagi nggak banyak tugas.
>When ever you
can, when ever you come :D
(Kapanpun kau bisa,
kapanpun kau datang :D)
>I'll be there
tomorrow, my Love :*
(Aku kesana besok, my
Love :*)
>Yey! Ren baik...
#hug
Manis sekali, tanpa sadar aku tersenyum. Kami
terlihat seperti pasangan yang benar-benar bahagia. Tetapi ada satu hal yang
membuatku tak mengerti, beberapa e-mail - e-mail kami yang terakhir. Aku
membuka kotak 'sent' ku, dan membuka salah satu e-mail.
For : My lovely (Manta_Blue@gmail.com)
subject : I'm Sorry
>Sorry, dear...
>Please angkat
telpku... I was love you, I love you, and will be love you...
>Aku nggak pernah
berniat untuk menghianatimu...
>Aku hanya masih
bingung akan perasaanku
>Dan ketika kini
kau mengatakan aku hanya memberimu harapan... itu tidaklah benar, dear.
>Dan kukatakan
kepadamu, keberadaanmu tak pernah mengekangku, aku bahagia bersamamu...
>Apakah waktu 6
tahun belum cukup bagimu untuk mempercayaiku?
>Ataukah memang
kesalahanku yang terlalu besar merusak kepercayaanmu...
>Mungkin aku tak
lagi memiliki kepercayaanmu, tetapi cintaku takkan pernah hilang.
"Tetapi cintaku takkan pernah hilang..."
Aku melirihkan kata-kata terakhir pada e-mail tersebut. Ya, mungkin cintaku
yang dahulu padanya tidak hilang, tetapi terlupakan.
Kulirik jam dinding diatas lemariku, sudah
mendekati jam delapan malam, dan baru kurasakan perutku berdendang. Kuputuskan
untuk membeli makanan saja diluar. Setelah menyimpan kembali laptopku,
kukendarai Xenia hitamku ke salah satu cafe favorite orang tuaku. Sudah
beberapa waktu aku tak mengunjungi cafe tersebut. Dekorasinya yang elegan dan
suasananya yang nyaman memang dapat membuat orang betah untuk duduk
berlama-lama, bahkan ketika tujuan utama mengunjungi cafe tersebut sudah
selesai.
Aku memilih
tempat disudut cafe sehingga bisa melihat keseluruhan cafe tersebut. Kulihat
seorang waitress menuju kearah mejaku, dan saat jaraknya cukup untuk dapat
melihat wajah masing-masing, dia segera berbalik dan memanggil waitress yang
lain.
"Itu tadi
temanmu kenapa?" Tanyaku terheran, setelah waitress yang lain menghampiri
mejaku.
"Tidak
tahu. Tuan ingin memesan apa?" Dia segera mengambil kertas dan bolpoin,
tanpa memandang mataku.
'Aneh...'
Batinku. Setelah aku menyebutkan pesananku, dia kembali agar bisa segera
menghidangkan pesananku. Kuperhatikan seorang waitress yang berdiri didekat
counter, waitress yang pertama kali hendak menghampiri mejaku. Dan sepertinya
postur tubuh waitress tersebut serta warna rambutnya yang sedikit di high light
di bagian poninya sangat familier.
'Tidak mungkin'
batinku sembari menggelengkan kepala. Memutuskan lebih baik aku memastikannya
saja, aku beranjak dari dudukku dan berjalan menuju kamar mandi didekat
counter. Dan ketika aku melewatinya, wajahnya memang sangat kukenal...
"Sam?"
Tanyaku lirih.
Dia mengangkat
wajahnya dan terbelalak melihatku. Tanpa mengucapkan apapun, dia membalikkan
badannya dan memasuki pantry. Setelah sosoknya menghilang akhirnya aku kembali
ke mejaku, tanpa masuk kekamar mandi karena memang bukan itu tujuanku. Beberapa
saat kemudian waitress yang sebelumnya membawakan pesananku dan segera
kusantap. Saat aku sedang menikmati santapanku, ponselku bergetar. Hanya sebentar
yang menandakan adanya miss call atau sms. Kuraih ponselku yang kuletakkan
dikantung kemejaku dan ketika kuperiksa ternyata ada sebuah pesan yang dikirim
oleh nomor yang belum kukenali. Segera ku buka pesan tersebut.
From :
0877********
Jangan panggil
aku Sam, panggil aku Tha.
Aku tersentak
dan memandang kearah pintu pantry yang memang dapat terlihat dari tempatku
kini. Samantha sedang memandangku dengan pandangan datarnya sembari menunjukkan
ponselnya dengan tangan kanannya. Setelah itu dia kembali menghilang ke dalam
Pantry. Aku merasa perutku sedikit bergejolak, dan itu membuatku nyaman.
Meskipun aku sedikit heran, darimana dia mendapatkan nomorku. Segera kubalas
pesannya.
To :
0877********
Kenapa?
Kurasakan
kembali getaran dari ponselku dan segera kubuka pesannya.
From :
0877********
Mengingatkanku
pada seseorang yang kusayang.
Aku tak berniat
membalas pesannya, 'mengingatkanku pada seseorang yang kusayang' seketika
sesuatu didadaku serasa kosong. Kusimpan kembali ponselku kedalam saku kemejaku
dan bergegas menghabiskan hidangan dihadapanku menyadari waktu sudah mendekali
jam sembilan malam. Setelah itu aku kembali mengendarai Xenia hitamku menuju
rumah.
------------
Dia tidak ada,
aku menghampiri pohon yang biasa dipakainya untuk berteduh, dan biasanya ada
sosok dirinya disini. Berusaha menghilangkan rasa kecewa yang kurasakan aku
berbalik dan memutuskan untuk menghabiskan waktu luangku di cafetaria, sebelum
jam kuliahku dimulai setengah jam lagi. Aku mengeluarkan laptop kesayanganku dari
dalam tasku dan kusambungkan pada wifi yang memang disediakan pada cafetaria di
kampusku ini. Iseng, kubuka account e-mailku. Ternyata ada sebuah e-mail yang
dikirimkan tadi malam.
From : My lovely
(Manta_Blue@gmail.com) subject : Hai ^^
>Hey, remember
me? Hahaha ofcourse not.
Aku membelalakkan mataku. Mengapa banyak sekali
kebetulan akhir-akhir ini? Apakah aku harus membalasnya atau tidak? Mengatakan
bahwa aku tak mengingatnya? Aku bingung, bagaimana dengan Samantha... Aku
mencintainya, tetapi jika aku mulai mengingat dirinya apa perasaanku akan
berubah?
Setelah beberapa saat, aku memutuskan untuk
menjawabnya.
For : My lovely
(Manta_Blue@gmail.com) subject : re-Hai ^^
>Where are you
now?
Setelah mengirim e-mail tersebut aku menjelajah
dalam jejaring sosialku, melihat-lihat foto-foto yang terkadang lucu, bagus dan
menjijikan.Beberapa kali aku membuka-buka halaman teman-temanku yang
berbeda-beda hingga akhirnya aku bosan dan menutup jendela jejaring sosialku,
meninggalkan satu jendela diweb browserku. E-mailku sudah dibalas.
From : My lovely
(Manta_Blue@gmail.com) subject : re-re-Hai ^^
>I was always
with you... near you, the only one it's matter that you never notice it.
(Aku selalu bersamamu...
didekatmu, hanya saja kau tak pernah menyadarinya)
Setelah membaca e-mail tersebut aku menutup
laptopku tanpa mematikannya, menyadari mata kuliahku akan dimulai dalam waktu
lima menit dan ruangannya lumayan jauh dari cafetaria ini. Aku memasukkan
laptopku kedalam tas abu-abuku dan menentengnya sembari berjalan cepat ke
ruangan yang kutuju.
Untungnya aku tak terlambat karena ketika aku
memasuki ruangan belum ada dosen yang menunggu, meskipun ruangan nyaris penuh.
Aku memutuskan duduk dibagian belakang, menyadari bangku kosong yang lainnya
berada sangat didepan. Beberapa saat ditunggu, dosen tak kunjung datang
sehingga kuputuskan untuk memainkan ponselku dengan tak menentu. Sesekali
kubuka-buka pesan yang sudah lama, lalu pindah ke daftar lagu, pindah ke
kontak, dan begitu seterusnya. Dan ketika aku mengangkat wajahku, aku melihat
ada seseorang yang sudah menempati bangku yang tadinya kosong disampingku. Aku
memalingkan wajahku agar dapat melihatnya dengan jelas.
Tanpa sengaja pandangan kami bertemu, dan aku
hanya memberinya senyuman, agar terkesan ramah.
"Kamu Rendy kan?" Segera, senyumanku
berubah menjadi kerutan didahiku, terheran.
"Iya..." Aku menjawab lirih.
"Aku Ratna. Itu, yang kemarin chat sama
kamu."
"Oh, yang nicknya 'Grey'?"
"Iya!" Serunya berbinar. "Eh,
dosennya dateng." Dia segera memalingkan wajahnya dan mengeluarkan kertas
serta bolpoin dari dalam tas selempang birunya. Dan akupun melakukan hal yang
sama.
------------
"Aku lumayan kaget lo, kamu nggak inget
aku." Ratna menatap mataku dengan pandangan yang -eerrrr- menghipnotis.
"Aku juga terkejut dulu punya teman secantik
kamu." Sahutku hanya berniat bercanda. Tetapi, kulihat wajah Ratna memerah
seketika, dan aku pura-pura tak menyadarinya.
"So... Ehm..." Dia terlihat berusaha menghilangkan
kegugupannya. "Ada acara nanti malam?" Aku hanya mengangkat alisku,
dan sepertinya dia mengerti karena segera menjawab, "Aku mau hunting
buku... Temenin yuk."
Hunting Buku... Tiba-tiba
terngiang-ngiang dikepalaku kata-kata tersebut.
"Apa dulu aku juga suka nemenin kamu hunting
buku?" Aku bertanya sembari mengangkat salah satu alisku.
"Kamu bener-bener lupa yah." Dia
terlihat memutar kedua bola matanya. "Lumayan sih, sering. Biasanya kamu
juga suka beli kan? Masih suka baca?"
Pertanyaannya membuatku tersentak. "Baca?
Aku?" Aku menunjuk dadaku sendiri, bertingkah seperti seorang konyol.
"Oh, udah nggak ya, seingatku sih dulu kamu
suka baca buku berat." Jawabnya enteng. Lalu dia melanjutkan,
"Sejenis sama si Sam itu."
Aku terdiam, sepertinya selain tentang kekasihku
yang dahulu... Aku juga melupakan fakta-fakta hingga kebiasaan diriku sendiri.
"So..? Mau nemenin nggak?" Dia menatapku
dengan tatapan memohonnya, dan hal tersebut membuatku tak bisa berkata 'tidak'.
"Ehm... Iya deh, daripada sendirian
dirumah."
"Eh, aku tinggal dulu ya. Ada jam ni."
Dia segera menyambar tasnya, membayar makanannya, dan bergegas keruangan mata
kuliahnya yang lain, setelah sebelumnya menyelipkan sebuah kertas yang berisi
alamat rumah serta nomor ponselnya.
Meninggalkan aku sendiri yang termenung, mengingat
e-mail lama yang masih tersimpan rapih. Apakah Ratna? Tapi sepertinya tidak
mungkin karena Ratna nyaris seumuran denganku. Sedangkan disalah satu e-mail
itu, sempat aku dipanggil dengan sebutan 'kak'. Aku memutuskan untuk
menghampiri Samantha di tempat biasanya dia menyendiri, semoga tidak seperti
tadi pagi.
Aku melangkahkan kakiku ke halaman samping kampus
dan mendapati Samantha di bawah pohon tersebut, memangku laptop hitamnya. Dan
ketika dia melihatku, dia terlihat sangat terkejut dan segera menutup
laptopnya. Dari matanya... Mengalir tetesan kesedihannya, dari bekas tetesannya
sepertinya dia sudah menangis lumayan lama. Aku berniat untuk menghampirinya.
"Hei, kenapa?" Tanyaku lembut, berusaha
menenangkan dirinya.
Tanpa mengatakan apapun, dia memasukkan laptopnya
dan bergegas pergi. Saat dia melewati diriku, aku tahan lengannya dan kurengkuh
dalam pelukanku. Kurasakan dia berusaha memberontak untuk melepaskan diri.
Kuelus lembut pucuk kepalanya.
"Menangislah jikalau kamu memang ingin
menangis, aku bersedia jadi penopangmu. Mau percaya padaku?" Aku menatap
matanya yang sayu. Tanpa menjawab dia membenamkan wajahnya pada pundakku dan
mencengkram erat kemeja bagian depanku. Kurasakan pundak bagian kananku mulai
basah, dia menangis tanpa bersuara. Aku melingkarkan kedua tanganku pada
pinggangnya. Badannya sedikit bergetar dan remasannya pada kemejaku semakin
erat, dan akupun mengeratkan pelukanku, berusaha menularkan ketenanganku
padanya. Meskipun tak bisa kupungkiri jantungku berdetak sedikit lebih cepat
daripada yang seharusnya. Oke, mungkin sangat cepat.
"Aku ingin seperti dulu..." Kudengar dia
berkata lirih, setelah itu dia melepaskan cengkramannya dan berjalan melewati
diriku tanpa mengucapkan apapun lagi. Meninggalkan aku yang mematung, tak
mengerti.
---------
"Arrgghh..." Aku menghempaskan tubuhku
keranjangku, tanpa mengganti baju maupun melepas sepatuku. Kupandangi langit-langit
kamarku dengan tatapan menuduh, seakan dialah yang bersalah.
"Arrgghh..." Kuacak-acak rambutku,
rasanya kepalaku nyaris pecah, tak mengerti akan semua yang kualami,
singkatnya.. galau.
"Katakan padaku! Mengapa segalanya begitu
berputar-putar? HEI!" Bentakku pada langit-langit padaku, katakan saja aku
mulai gila. Selama beberapa saat aku menatap langit-langit kamarku dengan
tatapan marahku, "Aaaaarrrrggghhh." Kembali kuacak-acak rambutku. Aku
benar-benar bingung saat ini.
'Ratna!' Aku tiba-tiba teringat akan janji untuk
menemaninya hunting buku. "Damn it!" Aku mengacak rambutku frustasi,
sedikit lega saat melirik jam dan menyadari bahwa belum terlalu sore, jam
setengah enam.
Aku menyambar jaketku asal dan menyambar kunci
mobilku, bergegas menuju rumah Ratna yang alamatnya sudah dia beritahukan
sebelumnya. Aku sampai di depan sebuah rumah yang tak terlalu besar maupun
kecil, cukup asri terlihat dari luar. Aku mengambil ponselku dan mengetikkan
beberapa deret angka yang merupakan nomor ponselnya.
"Halo.." Aku menyapanya saat dia
mengangkat panggilanku.
"Ya, halo.. Rendy
ya?"
"Aku udah di depan rumahmu."
"Ok" Setelah itu
panggilan terputus, dan aku menyimpan kembali ponselku.
Beberapa saat aku menunggu sembari memperhatikan
pekarangan rumah Ratna yang lumayan luas, walaupun hanya dibagian depannya
saja. Beberapa jenis mawar, anggrek, dan bunga-bungaan yang lainnya yang aku
tak tahu namanya, tersebar dipenjuru pekarangannya. Bahkan ada sebuah kolam
ikan mungil yang semakin menyegarkan mata.
"Hai..." Aku mengalihkan pandanganku
kearah kiri dan mendapati Ratna sudah membuka pintu disebelah kemudi.
"Berangkat sekarang?" Aku bertanya.
Ratna memasuki mobilku dan menutup pintu.
"Yup.."
---
Setelah berputar-putar di Gramedia dan Ratna telah
menemukan beberapa buku yang dia butuhkan, kami memutuskan untuk mengisi perut
kami di food court seputaran daerah sini. Sembari menikmati makanan
masing-masing, aku berfikir untuk menanyakan sesuatu padanya, hanya untuk
memastikan sesuatu. Beberapa kali aku gagal menyusun kata-kataku.
"Hhhh.." Tanpa sadar aku menghela nafas
terlalu keras, menyebabkan Ratna menatapku dengan pandangan sedikit menyelidik.
"Ada apa?" Tanyanya, tanpa menghilangkan
tatapan tersebut.
"Ehhm, nggak ada apa apa." Jawabku,
berusaha menyesap minumanku. "Eh, ada sesuatu yang ingin kutanyakan.
Boleh?"
"Tanya aja, santai aja kali." Jawabnya
sembari sedikit tertawa.
"Pernah jatuh cinta?" Sepertinya
pertanyaanku sedikit membuatku terkejut, karena dia segera membulatkan matanya.
"Memangnya kenapa?" Tanyanya lagi,
setelah bisa menghilangkan rasa terkejutnya.
"Ehm, nggak sih. Cuma ingin nanya."
"Aku sih belum pernah, atau mungkin nggak
akan pernah jatuh cinta." Dia mengatakannya sembari tersenyum, sedikit membuatku
heran. Setahuku perempuan lebih sensitif terhadap sesuatu yang berbau cinta,
bahkan mereka bisa membunuh diri mereka sendiri hanya karena cinta.
"Tumben sekali aku mendengar pernyataan
seperti itu dari seorang perempuan." Aku tersenyum. "Apa alasannya?"
Dia hanya menghela nafasnya, dan memainkan rambut
panjangnya dengan tangan kanannya. "Menurutku cinta itu cuma bisa bikin
seseorang lemah, dan cinta juga bisa mematahkan logika seseorang." Aku tak
membalasnya karena dia terlihat akan menyambung lagi ucapannya. Dia terlihat
berfikir untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikan apa yang
difikirkannya. "Cinta itu... Menurutku sih cuma pengaruh hormon yang masih
labil. Bayangkan saja, seorang remaja bahkan orang dewasa bisa terganggu aktifitasnya
hanya karena cinta. Bukankah itu pengaruh buruk?"
"Ya... Terkadang aku berfikir seperti itu.
Tetapi ada yang mengatakan saat mereka jatuh cinta, secara tiba-tiba segalanya
menjadi indah." Aku ingin tahu apa tanggapannya.
Dia tertawa, "Kenapa indah? Karena 'cinta'
mereka terbalas." Dia membuat lambang tanda kutip dengan kedua tanggannya.
"Sebenarnya segalanya bisa terlihat indah jika kita selalu memikirkan
sesuatu dari sisi positifnya, dan ketika seseorang jatuh cinta, segalanya
secara tiba-tiba menjadi positif untuk mereka. Dan ini cinta untuk
pasangan." Dia menghela nafasnya sebentar. "Bagaimana dengan cinta
untuk orang tua? Apakah menyenangkan orang tua tidak indah untukmu? Kamu sayang
orang tuamu kan? Kebanyakan orang hanya mendefinisikan cinta hanya untuk
pasangan mereka, bukan teman, bukan sahabat, bukan keluarga." Dia kembali
tersenyum. "Itu pemikiranku."
"Sangat masuk akal, bagaimana dengan 'butterfly'
yang kita rasakan saat berbicara dengan orang yang kita cintai? Itu gejala
fisik kan? Bukan hanya halusinasi." Aku menekankan kata 'butterfly'
dan mengikuti caranya membuat tanda kutip dengan kedua tangannya.
"Saat kita gugup kita juga merasakannya,
bukan? Tetapi kita mendefinisikannya sebagai hal yang berbeda. Itu sugesti
sebenarnya."
"Haha, benar juga ya." Aku terkejut akan
pemikirannya, begitu mengutamakan logikanya.
"Eh, balik yuk.. Udah hampir jam setengah
sembilan."
Aku mengantarkannya kembali ke rumahnya dan aku
segera kembali kerumahku.
---
Setelah memasuki kamarku aku segera membuka
laptopku dan berniat untuk membalas sebuah e-mail yang belum sempat kubalas
tadi siang. Setelah sedikit percakapan dengan Ratna aku sudah tahu siapa
pengirim tersebut.
For : My lovely
(Manta_Blue@gmail.com) subject : Me Again.
>Hey, I know who
you are now.
>I will meet you
in the same spot as before
>I'll wait till
you come
>And you know?
Maybe i've been forgotten about us
>But my feelings
never change
>I know you know
about that
(Hei, aku tahu siapa
dirimu.)
(Aku akan menemuimu
ditempat yang sama seperti sebelumnya)
(Aku akan menunggumu
hingga kau datang)
(Dan kau tahu? Mungkin
aku telah lupa segalanya tentang kita)
(Tetapi perasaanku tak pernah berubah)
(Tetapi perasaanku tak pernah berubah)
(Aku tau kau
mengetahuinya)
Setelah mengirimkannya, aku segera terlelap kealam
mimpi.
---
Aku melihatnya disana, berdiri dengan gugup.
Kukira aku hanya akan menemukan pekarangan yang kosong. Dia membalikkan
badannya dan menatapku sendu.
"How did you know it was me?" (Bagaimana
kau tahu itu aku?) Suaranya parau, seperti seseorang yang sehabis menangis.
"I was always with you... near you, the only
one it's matter that you never notice it." (Aku selalu bersamamu...
didekatmu, hanya saja kau tak pernah menyadarinya.) Aku mengulang kata-katanya
yang dia cantumkan di e-mailnya.
Dia tersenyum lembut. "Things will never be
the same, isn't it?" (Segalanya takkan pernah sama, bukan?)
"Mungkin aku telah melupakan semuanya, apa
yang telah kita alami, tetapi seperti yang kukatakan sebelumnya... Cintaku
takkan pernah hilang." Aku tersenyum, kemudian melanjutkan. "Mungkin
bukan cintaku, tetapi rasa sayangku sangat besar terhadapmu."
Senyumnya yang lembut berubah menjadi senyum
nanar. "As I say before (Seperti yang kukatakan sebelumnya) segalanya
takkan pernah bisa sama. Mungkin kemarin aku mengatakan bahwa aku ingin seperti
dahulu, tetapi aku sadar hal itu tidaklah mungkin."
"Kita bisa memulai semuanya dari awal."
Aku menatapnya dengan pandangan yakin.
Tiba-tiba dia menyibakkan lengan kemeja sebelah
kirinya dan memperlihatkan kulit putih yang berhiaskan bekas irisan dalam.
Tepatnya lima buah bekas irisan. "Aku tak ingin hal ini terjadi
lagi." Dia mengucapkan hal itu sembari meneteskan air matanya.
Aku hanya bisa terdiam mematung.
"Tentu saja kau tak ingat." Dia
tersenyum dalam linangan air matanya.
"Apapun yang terjadi dulu, aku pastikan
takkan terulang kembali." Aku takut, takut jika akulah penyebab kelima
irisan tersebut.
"Kau telah mengecewakanku dulu, bagaimana aku
bisa yakin kau takkan mengulanginya? Kau telah menghancurkan hatiku, dulu. Apa
aku bisa yakin hal itu takkan terulang?" Meskipun dia mengatakannya dengan
lirih. Aku bisa mendengarnya dengan sangat jelas.
"Aku memang tak ingat apa yang telah
kulakukan dulu, mungkin memang sebuah kesalahan yang fatal. Tetapi kali ini aku
yakin akan perasaanku, mungkin aku tak begitu mengenal dirimu seperti aku yang
dulu, mungkin aku telah sedikit berubah. Tetapi aku takkan melupakan bagaimana
aku menyayangimu sekarang."
Dia memandangiku dengan tak yakin. "Seseorang
pernah mengatakan padaku... Dalam hidup, kita tak membutuhkan cinta, yang kita
butuhkan hanyalah kasih sayang dan kepercayaan. Karena cinta bisa saja hilang
seiring waktu, tetapi rasa sayang dan kepercayaan tidak akan hilang jika kita
tak menghianatinya. Kau pernah menghianati kepercayaanku, dan aku tak yakin apa
kau pernah menyayangiku..."
"Jika kau benar-benar tak ingin aku kembali
pada kehidupanmu, lalu apa maksud kertas ini?" Aku memperlihatkan selembar
kertas padanya, yang kutemukan beberapa hari yang lalu. Kulihat dia hanya
terdiam, menundukkan kepalanya. Aku mendekatinya, perlahan. "Dahulu dan
sekarang berbeda, aku menyayangimu... Amat menyayangimu, dan aku berjanji
takkan menghianatimu, sampai kapanpun." Ketika aku telah berada
dihadapannya, aku menariknya dalam pelukanku.
End (Again).
___________________________________________
Yup, berhubung banyak (banget) yang protes karena
cerpenku yang 'Adakah Cinta' endnya gantung, aku buat deh lanjutannya. Dan
kebanyakan pada minta Happy End, aku buat happy end juga = ="
Ini aku pakai Point Of View sebagai cowok, jadi
kalau ada cowok yang baca, trus protes karena pemikirannya dalam POV terlalu
cewek, maaf banget, tapi HEY! I'm a girl = ="
Padahal saya sangat membenci cerita happy end,
karena menurut saya, tak ada yang namanya happy end di dunia ini. Segalanya
serba sad end, yah... Itu menurutku pribadi sih, terserah yang lain :P
No comments:
Post a Comment