"Rendy..."
---
Aku menoleh, melihat Samantha memandang nanar ke arah
pepohonan lebat di samping kami. Kulihat Shantika masik asyik dengan kegiatannya
memetik anggur, sepertinya dia tidak mendengar gumaman Samantha memanggil sosok
seseorang yang sudah kami anggap sebagai kakak. Kulihat kembali arah pandangan
Samantha, kosong...
"Tha..." Aku memanggilnya.
Tidak ada reaksi, sepertinya dia tetap memperhatikan tempat
kosong itu. Aku mendekatinya dan menepuk pundaknya sekilas.
"Tha.. Lihat apa?"
"Na.. Kak Rendy Na.. Dia ada disini, dia disini
tadi.." Suaranya yang lirih mengiris hatiku, jelas sekali tadi dia
berhalusinasi.
"Kak Rendy nggak disini Tha, yuk mendingan kita balik
aja" Aku menuntunnya menghampiri Shantika -yang benar benar masih asik
memetik- dan mengajak mereka segera kembali pulang.
"Mungkin lu terlalu banyak pikiran Tha" Shantika
berujar sembari memasukkan anggur petikannya kedalam tas tangan setelah lebih
dulu membungkusnya di dalam plastik.
Samantha hanya mengangguk lemah dan memainkan jarinya.
"Ka.. Lu yang nyetir ya, gua mau temenin Samantha di
belakang" Aku menyerahkan kunci mobil pada Shantika yang segera
menerimanya.
Aku menduga, sepertinya Samantha mengalami halusinasi akibat
kerinduannya, aku dan Shantika sudah mengetahui bahwa Samantha jatuh cinta pada
sosok yang kami anggap kakak. Tetapi dia sendirilah yang belum menyadarinya,
dan kami beranggapan, dia baru menyadarinya sekarang. Setelah ketiadaan Rendy.
Samantha menaiki mobil dengan langkah yang benar-benar
lunglai, seakan semangatnya terkuras dalam waktu kurang dari satu jam, aku
mengikutinya duduk di deretan tengah.
Setelah Shantika menyalakan mesin dan menjalankan mobil,
pandangan Samantha tetap saja menerawang, seakan tak ingin kembali ke
kenyataan, tetap ingin tinggal dalam imajinasinya, pikirannya.
"Tha..." Aku mengelus tangannya berharap dapat
mengembalikannya ke alam nyata.
Samantha mengengok dan menatapku.
"Gua lihat dia tadi Na, gua llihat" Ucapnya lirih,
setetes air bening meleleh dari matanya jatuh ketanganya melalui dagunya yang
indah.
"Iya, gua percaya.." Ucapku menenangkan, aku tidak
berbohong karena aku memang percaya dia melihatnya, melihat Rendy dalam bentuk
ilusi.
"Tapi Rendy udah nggak ada, Na. Gua bingung"
Samantha menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi mencoba menenangkan dirinya
sendiri.
"Tha.. Untuk saat ini, percaya sama apa yang lu mau
percaya, jangan terlalu benanin pikiran lu" Aku mencoba tak menyinggung perasaannya,
setidaknya sekarang karena kulihat, Samantha sangatlah labil saat ini.
"Gua mau ke makam Rendy" Gumamnya dengan suara
yang mulai serak.
"Ka.. kita ke makam Rendy ya" Aku menyahut dari
belakang.
Seketika, Shantika membanting setir dan berbalik arah menuju
kawasan pemakaman gereja kami.
---
Samantha turun dari mobil, melangkah perlahan ke arah sebuah
gundukan tanah bernisan porselen putih yang indah. Kami tidak membawa bunga,
karena memang tidak merencanakan untuk datang kemari. Tempat yang sekiranya
dapat menggoreskan luka lebih dalam lagi di hati sahabat kami, Samantha.
Kami hanya mengikutinya dari belakang, melihatnya berlutut
disamping makam Rendy, memandang nanar, sekilas kami masih dapat mendengar
suaranya.
"Ren, gua kangen lu.. Berapa lama ya kita udah nggak
ketemu" Suara Samantha yang datar menambah kesan miris dalam pandangan
kami.
Tes...
Tes...
Tes...
Tetes-tetes air dari langit seakan ikut menangis melihat
kesedihan sahabat kami.
"Hujan Ren, lu masih suka sama hujan kan?"
Samantha mengeluarkan Flutenya. Flute putih elegan dengan ukiran di sepanjang
sisinya yang menambah kesan indahnya. Flute pemberian Rendy.
Hujan semakin deras tetapi kami tetap bertahan pada posisi
semula kami, tak berniat untuk beranjak sedikitpun.
"Ingat sama laagu kesukaan lu Ren? Gua bawain ya.. Lu
mau dengar kan?" Meskipun hujan, dapat kulihat tetes bening juga turun
dari matanya. Meskipun tak terdengar isakan.
Samantha mendekatkan lubang tiup flutenya pada bibirnya, dan
tak beberapa lama kemudian, terdengar lantunan melody Gift Of a Friend yang
sebenarnya dapat menenangkan pikiran. Kini, lagu yang dibawakannya serasa
mengiris hati.
Entah terbawa suasana atau apa, aku ikut menangis, dan dari
sudut mataku, kulihat Shantika yang biasanya tegar juga ikut menangis.
---
"Samantha ga sekolah lagi?" Shantika memandangku
dengan ekspresi terkejut.
"Iya, kata temen sekelasnya sih dia sakit." Aku
balas memandangnya, berusaha terlihat tenang.
"Nanti aja ya kita jenguk." Shantika kemudian
berjalan mendahuluiku menuju kantin.
"Eh, tungguin gua ngapa." Ucapku kesal, aku segera
menyambar bukuku dan bergegas menyusulnya. Sialnya, ditengah perjalananku
menyusul Shantika aku menabrak seseorang. Untung saja bukuku tak terjatuh,
berhubung buku yang kubawa hanya satu dan ukurannya lumayan kecil.
"Maaf." Ucapku singkat dan segera menyusul
Shantika. Sekilas dapat kulihat wajahnya, dan kukenali sebagai Dima, teman
sekelasku yang diam-diam kukagumi.
Kurasakan wajahku menghangat, meski kutahu tak ada gunanya
aku menyukainya. Karena suatu alasan.
"Lama banget sih lu" Shantika dengan cueknya
mengambil bukuku dan membukanya. "Apaan sih ni"
Aku dengan reflek segera mengambilnya dan menggenggamnya dengan gaya possesif. "Nggak boleh!" Ujarku.
Aku dengan reflek segera mengambilnya dan menggenggamnya dengan gaya possesif. "Nggak boleh!" Ujarku.
"Eh lu tabrakan sama Dima ya tadi? Cowok yang lu
taksir?" Tanyanya santai.
Seketika kurasakan wajahkyu menghangat kembali dan
kupastikan warnanya pasti merah.
"Kenapa nggak lu deketin aja." Shantika menatapku
dengan heran. "Jarang jarang lu suka sama cowok kan"
"Ga mungkin gua bisa jadi pacarnya, Ka" Ucapku ringan.
"Ga mungkin gua bisa jadi pacarnya, Ka" Ucapku ringan.
"Seenggaknya deketin aja." Paksanya, "Gua mau
kok bantuin lu" ujarnya santai.
"Maaf, mbak. Ini pesanannya." Seorang pelayan
kantin menginstrupsi kami dengan membawakan dua mangkuk mie ayam.
"Eh lu kebiasaan ya semaunya sendiri" Ujarku
sebal.
"Lu datenganya kelamaan sih, ya udah gua pesenin
aja." Dengan cueknya dia mengambil sumpit dan segera makan dengan lahap.
Sambil makan, aku memikirkn kemungkinan yang disampaikan
Shantika. 'Ya, mengapa gua nggak deketin dia aja ya?' Dalam hati aku berujar.
Meskipun memang, aku tahu tak ada harapan untukku. Aku memang menyukainya,
bahkan tidak menutup kemungkinan aku akan mencintainya. Seberapapun aku
berusaha, aku takkan bisa mendapatkannya.
Rahasia yang aku dan dia pegang, secara tak sengaja
kuketahui.Aku kembali teringat saat pertama aku berbincang dengannya.
---
Flashback
---
"Hai Dim" Aku menyapanya karena memang kami
ditempatkan di satu kelompok untuk tes musik klassik.
"Musik apa yang bisa lu mainin?" Ucapnya langsung.
"Gua paling fasih mainin Piano atau Keyboard. Lu
apa?" Aku membalikkan pertanyaannya.
"Terompet."
"Hmmm, gimana kalau kita mainin The Entertainer aja,
kan terompet biasanya bawain lagu yang semangat."
"The Entertainer lebih cocok pakai biola"
"Gua bisa mainin biola, gimana?"
"Hmm, iya deh gua setuju." Ucapnya yang lalu
membuka laptopnya untuk mencari data not musik The Entertainer. "Lu
perlu?" Tanyanya lagi.
"Nggak gua udah hafal."
"Pantesan lu pilih ini." Ucapnya sembari menyeringgai,
dan hanya bisa kubalas dengan cengiran.
"Itu siapa?" Tanyaku menunjuk wallpapernya yang
adalah seorang cowok yang lumayan tampan. Kulihat dibawahnya tertulis kalimat
'My Lovely Angel'
"Dia pacarku." Ujarnya tenang
Dan aku hanya bisa tertegun dan menelan ludah.
---
End
---
Dan sampai saat inipun, masih susah untukku percaya bahwa
dirinya...
Gay...
---
Bersambung...
No comments:
Post a Comment