^^ About Me ^^

Love Flew - Part 2

“Gua baru sadar kalau.. gua cinta Rendy.” Akhirnya kalimat pengakuanku yang terlambat terucap juga dari bibirku. Pengakuan yang sangatlah terlambat…

Denin terdiam, berbalik dan menatap lurus dalam mataku mungkin sedang mencari kejujuran akan kata kataku.
"Lu yakin sama perasaan lu?" Tanyanya, agak ragu.
Aku mengangguk, pelan. Ada sedikit perasaan aneh dalam hatiku saat kumelakukannya. Aku takut dia menyadari keraguanku, menyadari bahwa mungkin, ini hanya buah kekalutan dan rasa kehilanganku saja. Entahlah, aku tak mengerti akan perasaanku sendiri. Akhirnya kuputuskan berjalan mendahuluinya. Menghindari kecanggungan mungkin?
Kami terus berjalan mengitari halaman rumah yang luas ini, sembari terus memutar balik kenangan yang pernah terjadi disini, bersama Rendy. Kami berjalan dalam sunyi, sama sama tak tahu apa yang harus diperbincangkan.
Tes..
Tes..
Tes..
Hujan. Serempak, aku dan Denin berlari menuju tempat teduh guna melindungi tubuh kami dari air air yang menetes dari langit. Aku tersenyum, miris dibawah lindungan pohon rindang, menatap kearah hujan.
"Lu tau?" Ucapku pelan.
"Hmm?" Denin bergumam, dia melepas jaket yang dikenakannya dan menggunakannya untuk melindungi kepala kami.
"Rendy suka hujan" Ucapku semakin lirih.
Dari sudut mataku kulihat dia menatap lurus, pandangannya agak kosong.
"Ayo" Ucapnya sembari menarik tanganku.
Kami berlari menembus derasnya hujan menuju teras rumahnya.
"Hhh hhh hhh hhh" Nafas kami memburu karena lelah dan dingin.
"Errr Den, boleh gua pinjem baju lu kagak? Basah ni" Aku mengibas ngibaskan tanganku pada rambutku.
"Oke, besar kagak apa ya" Dia melangkah masuk kedalam rumah yang masih berkesan suram. Aku mengikutinya.
...
Kamarnya terletak di lantai dua, tepat bersebelahan dengan kamar Rendy. Kukira kamarnya akan seperti anak laki-laki kebanyakan yang berantakan. Tetapi kamar Denin tertata sangat rapi, dindingnya bersih tanpa poster kecuali sebuah foto dirinya dengan keluarganya yang dibingkai unik.
"Cool" Ujarku seadanya.
Denin membuka lemari pakaiannya dan mengeluarkan sebuah kemeja santai dengan celana training lalu mengulurkannya padaku.
"Kamar mandi disana." Dia mengarahkan telunjuk tangannya pada sebuah pintu yang berada didalam kamarnya.
Akupun segera beranjak memasuki kamar mandi tersebut untuk mengganti bajuku. Ternyata tubuh Denin yang terlihat kecil, bajunya sangat longgar dibadanku. Tetapi badanku memang termasuk mungil untuk ukuran anak seumuranku. Kutatap bayangan tubuhku pada cermin setengah badan yang terdapat dipintu kamar mandi Denin, rambutku kusut dan pada wajahku yang pucat terlihat gurat kelelahan. Baru kusadari penampilanku sedari tadi berantakan. Kulihat disamping westafel ada sebuah kotak obat, mungkin ada sisir disana, lumayan bisa sedikit memperbaiki penampilanku. Saat jemariku menyentuh sisir hitam bergagang tipis, aku melihat ada sebuah kotak kecil di sudut lemari obat tempatku mengambil sisir. Tertekan rasa penasaran, jemariku perlahan meraih kotak tersebut, tetapi sadar bahwa tak baik membongkar privasi orang lain akhirnya kukembalikan kotak tersebut ke asalnya. Setelah yakin rambutku sudah lumayan tertata rapi, aku keluar dan melihat Denin telah tertidur tanpa mengganti baju basahnya.
Kuguncang badannya sedikit guna membangunkannya tetapi sia-sia, matanya tak terbuka sedikitpun. Didorong rasa penasaran *lagi* aku mengelilingi kamarnya yang tergolong besar dan melihat-lihat isi lemari bukunya. Kembali, aku melihat botol dan bungkusan obat yang jumlah dan jenisnya lumayan banyak.
"Denin sakit?" Aku mengambil salah satu bungkusan obat yang sepertinya lumayan sering dikonsumsi, dilihat dari jumlahnya yang paling sedikit saat itu. 'Penambah Darah' tulisan pada luar bungkusan yang membuatku tersentak. 'Apa Denin anemia? ' Kugelengkan kepalaku tak ingin berfikir yang tidak tidak. Kutolehkan kepalaku, memerhatikan wajah Denin yang sedang tertidur lelap, tak ada tanda-tanda bahwa dia memiliki tubuh lemah dan menyimpan berbagai penyakit, dilihat dari betapa banyaknya obat yang dimilikinya.
Kuambil bungkusan yang lain, yang ternyata adalah obat tidur berkadar tinggi. Aku semakin tak percaya Denin mengkonsumsi ini semua. Kututup laci atas lemari buku itu dan kubuka laci bawah lemarinya. Keterkejutanku bertambah saat kulihat ada beberapa inhaler dan pendeteksi tensi dan detak jantung.
Dengan tangan bergetar aku menutup laci tersebut lalu berbalik.
"Aaaaa" Aku mengelus dadaku perlahan menghilangkan rasa keterkejutanku.
"Hei, menggeledah kamar orang tu salah satu pelanggaran privasi. Lu tau pan" Dari nadanya yang sedikit menyiratkan kejengkelan membuatku merasa sedikit menyesal.
"Maaf" Ucapku lirih. Aku melirik lemari yang tadi kubuka dengan sedikit pancaran penasaran, tetapi terlalu takut tuk kutanyakan.
"Penasaran?" Dia mengambil berjalan menuju lemari pakaiannya dan mengambil sepotong kemeja santai.
"Hah?" Aku berkata spontan, bingung.
Denin mengganti baju basahnya dengan kemeja yang baru dia ambil. Sekilas, terlihat pada punggungnya luka seperti bekas jahitan.
"Itu bekas jahitan?" Tanyaku tanpa berfikir. "Eh, maaf" Ucapku langsung.
"Aku penderita Leukemia Linfositik Akut, tapi sudah tertanggulangi" Denin tersenyum, miris."Thanks for my brother, actually"
"Itu sebabnya lu anemia?"
"Iya"
"Dan kak Rendy yang ngasi lu donor sumsum?"
"Sumsum dan trombosit" Denin memberikan penekanan pada kata dan, seakan hal tersebut hal yang tak diinginkannya.
"Sebesar itukah rasa benci lu ke dia" Aku berucap tanpa maksud untuk bertanya.
"Yuk turun, nyokap pasti udah nungguin kita" Tanpa menungguku, Denin melenggang keluar dari kamarnya dan sepertinya segera menuju dapur yang tergabung dengan ruang makan.
"Hhhh" Menekan rasa penasaran yang semakin menjadi-jadi aku mengikutinya turun menuju ke arah yang sama dengannya.
---
Keluarga Wijaya *nama keluarga Rendy* hanya beranggotakan empat orang jika masih ada Rendy. Dengan keberadaanku, Shantika, dan Ratna, seharusnya hanya ada enam orang diruangan ini. Tetapi kulihat ada tujuh piring yang tersedia serta sudah dipenuhi oleh makanan.
Dalam hatiku memang bertanya-tanya siapa gerangan satu orang lagi yang dekat dengan keluarga Wijaya, hingga acara makan selesai, tak kunjung aku mendapatkan jawaban. Tiba-tiba hatiku diliputi perasaan miris yang menusuk, baru kusadari, jamuan tersebut disediakan khusus untuk Rendy, dan aku semakin sadar akan satu hal...
Seberapa besarpun aku kehilangannya, keluarganya lebih merasa kehilangan daripada aku dan sahabat-sahabatku.
"Tante, kami pulang dulu ya" Suara Shantika mengembalikanku ke dunia nyata. Aku tersenyum pada ketiga anggota keluarga Rendy dan bergegas meninggalkan rumah keluarga wijaya bersama Ratna dan Shantika. Dalam mobil yang dikendarai Ratna, aku hanya melamun memikirkan hal yang baru saja berlalu. Rasanya hanya dalam beberapa hari, duniaku runtuh seketika. Berat? Tentu saja berat, tapi setidaknya kau masih dapat melanjutkan hidup normalku. Tapi aku sedikit ragu, akankah hidupku akan normal setelah ini....
---
"Tha... hey Samantha" Ratna menepuk pipiku pelan dan mengembalikanku dari dunia mimpi.
"Enngghhtt.. Kita dimana?" Tanyaku yang tak begitu familiar dengan tempat yang kini kami singgahi.
"Kebun buah Samantha sayaaang" Shantika menjawab pertanyaanku dengan nada sedikit sewot.
"Yaaa! Gua pan kagak tau neng, namanya juga orang baru bangun" Semprotku tak kalah sewot.
"Bisa baca pan didepan sono" Tunjuk Shantika pada papan yang berada tak terlalu jauh dari tempat mobil yang kami tumpangi di parkir.
"Hei, kalian mau terus berantem apa mau masuk nih?" Ratna turun dari mobil dan menghampiri tempat pembayaran karcis masuk.
"Jangan tinggalin guaaa" Aku segera membuka pintu dan melompat turun.
"Eeh, gua juga jangan di tinggalin dong" Shantika ikut melompat dan membanting pintu mobil yang membuatnya mendapatkan pelototan dari Ratna.
"Mobil baru tuh!"
"Sorry kagak sengaja, salahin Samantha aja tuh" Ucapnya seenaknya dan melenggang masuk perkebunan.
"Aiisshh, tu anak" Ratna melirik kesal.
Aku hanya dapat menahan cekikikanku dan mengikuti kedua sahabatku untuk menikmati buah buahan yang bebas kami petik. Dari pintu masuk, kami langsung dihadapkan pada rimbunan pohon-pohon apel yang berbuah lebat. Mataku seketika melebar melihat betapa ranumnya buah buah apel tersebut.
"Gua mau yang ituuu" Suara Ratna yang seperti merajuk membuatku menolehkan kepalaku.
"Ketinggian Na, yang lain aja ngapa?" Shantika dengan cueknya mengambil buah yang rendah dan memakannya.
"Ah lu kagak ngebantu." Ratna menggembungkan pipinya sembari masih menatap penuh harap pada buah apel yang tingginya lumayan tak bisa kami jangkau.
Aku mendekati Ratna setelah sebelumnya mengambil sebuah kayu yang lumayan panjang.
"Tangkep ya" Aku memberi aba aba sebelum menyodok buah apel yang diinginkan Ratna.
"HUP!!" Ratna melompat sembari berseru saat dirinya berhasil menangkap apel idaman(?)nya. "Huaaaa, Tha I love youuuu" Teriaknya riang dan memakan buahnya.
"Yang lain kan sama aja Na" Ucapku saat meletakkan kayu yang tadi kugunakan.
"Bodo amat" Ucapnya.
"Kekebun anggur aja yuk, bisa kenyang lama lama gua disini." Shantika nyeletuk.
"Yuk" Aku dan Ratna menyetujui bersamaan, setelah itu kami berpandangan dan tertawa terbahak bersama.
---
Banyak sekali anggur berwarna merah yang menggiurkan tergantung di langit-langit kebun. Karena pohon anggur sifatnya merambat, maka dibuatkan sejenis terowongan dari kayu yang berfungsi sebagai tempat anggur anggur ini tumbuh. Kami bertiga memetik anggur-anggur dan segera memakan buah segar ini dengan lahap. Berhubung kebun buah ini berada dikawasan gunung, jadi buah buahnya terasa benar benar segar seperti sengaja didinginkan.
Selagi asiknya kami menikmati anggur, aku melihat sesosok yang sepertinya sekidit familier dimataku. Dan saat wajahnya menatap kearah kami bertiga, aku baru sadar, dia persis seperti seseorang yang sudah beberapa minggu tak kujumpai dan kukira takkan pernah kujumpai...
"Rendy..."


Bersambung....

No comments:

Followers