“Gua baru sadar kalau.. gua cinta Rendy.” Akhirnya kalimat
pengakuanku yang terlambat terucap juga dari bibirku. Pengakuan yang sangatlah
terlambat…
Denin terdiam, berbalik dan menatap lurus dalam mataku
mungkin sedang mencari kejujuran akan kata kataku.
"Lu yakin sama perasaan lu?" Tanyanya, agak ragu.
Aku mengangguk, pelan. Ada sedikit perasaan aneh dalam
hatiku saat kumelakukannya. Aku takut dia menyadari keraguanku, menyadari bahwa
mungkin, ini hanya buah kekalutan dan rasa kehilanganku saja. Entahlah, aku tak
mengerti akan perasaanku sendiri. Akhirnya kuputuskan berjalan mendahuluinya.
Menghindari kecanggungan mungkin?
Kami terus berjalan mengitari halaman rumah yang luas ini,
sembari terus memutar balik kenangan yang pernah terjadi disini, bersama Rendy.
Kami berjalan dalam sunyi, sama sama tak tahu apa yang harus diperbincangkan.
Tes..
Tes..
Hujan. Serempak, aku dan Denin berlari menuju tempat teduh
guna melindungi tubuh kami dari air air yang menetes dari langit. Aku
tersenyum, miris dibawah lindungan pohon rindang, menatap kearah hujan.
"Lu tau?" Ucapku pelan.
"Hmm?" Denin bergumam, dia melepas jaket yang dikenakannya
dan menggunakannya untuk melindungi kepala kami.
"Rendy suka hujan" Ucapku semakin lirih.
Dari sudut mataku kulihat dia menatap lurus, pandangannya
agak kosong.
"Ayo" Ucapnya sembari menarik tanganku.
Kami berlari menembus derasnya hujan menuju teras rumahnya.
"Hhh hhh hhh hhh" Nafas kami memburu karena lelah
dan dingin.
"Errr Den, boleh gua pinjem baju lu kagak? Basah
ni" Aku mengibas ngibaskan tanganku pada rambutku.
"Oke, besar kagak apa ya" Dia melangkah masuk
kedalam rumah yang masih berkesan suram. Aku mengikutinya.
...
Kamarnya terletak di lantai dua, tepat bersebelahan dengan
kamar Rendy. Kukira kamarnya akan seperti anak laki-laki kebanyakan yang
berantakan. Tetapi kamar Denin tertata sangat rapi, dindingnya bersih tanpa
poster kecuali sebuah foto dirinya dengan keluarganya yang dibingkai unik.
"Cool" Ujarku seadanya.
"Cool" Ujarku seadanya.
Denin membuka lemari pakaiannya dan mengeluarkan sebuah
kemeja santai dengan celana training lalu mengulurkannya padaku.
"Kamar mandi disana." Dia mengarahkan telunjuk tangannya pada sebuah pintu yang berada didalam kamarnya.
"Kamar mandi disana." Dia mengarahkan telunjuk tangannya pada sebuah pintu yang berada didalam kamarnya.
Akupun segera beranjak memasuki kamar mandi tersebut untuk
mengganti bajuku. Ternyata tubuh Denin yang terlihat kecil, bajunya sangat
longgar dibadanku. Tetapi badanku memang termasuk mungil untuk ukuran anak
seumuranku. Kutatap bayangan tubuhku pada cermin setengah badan yang terdapat
dipintu kamar mandi Denin, rambutku kusut dan pada wajahku yang pucat terlihat
gurat kelelahan. Baru kusadari penampilanku sedari tadi berantakan. Kulihat
disamping westafel ada sebuah kotak obat, mungkin ada sisir disana, lumayan
bisa sedikit memperbaiki penampilanku. Saat jemariku menyentuh sisir hitam
bergagang tipis, aku melihat ada sebuah kotak kecil di sudut lemari obat
tempatku mengambil sisir. Tertekan rasa penasaran, jemariku perlahan meraih
kotak tersebut, tetapi sadar bahwa tak baik membongkar privasi orang lain
akhirnya kukembalikan kotak tersebut ke asalnya. Setelah yakin rambutku sudah
lumayan tertata rapi, aku keluar dan melihat Denin telah tertidur tanpa mengganti
baju basahnya.
Kuguncang badannya sedikit guna membangunkannya tetapi
sia-sia, matanya tak terbuka sedikitpun. Didorong rasa penasaran *lagi* aku
mengelilingi kamarnya yang tergolong besar dan melihat-lihat isi lemari
bukunya. Kembali, aku melihat botol dan bungkusan obat yang jumlah dan jenisnya
lumayan banyak.
"Denin sakit?" Aku mengambil salah satu bungkusan
obat yang sepertinya lumayan sering dikonsumsi, dilihat dari jumlahnya yang
paling sedikit saat itu. 'Penambah Darah' tulisan pada luar bungkusan yang
membuatku tersentak. 'Apa Denin anemia? ' Kugelengkan kepalaku tak ingin
berfikir yang tidak tidak. Kutolehkan kepalaku, memerhatikan wajah Denin yang
sedang tertidur lelap, tak ada tanda-tanda bahwa dia memiliki tubuh lemah dan
menyimpan berbagai penyakit, dilihat dari betapa banyaknya obat yang
dimilikinya.
Kuambil bungkusan yang lain, yang ternyata adalah obat tidur
berkadar tinggi. Aku semakin tak percaya Denin mengkonsumsi ini semua. Kututup
laci atas lemari buku itu dan kubuka laci bawah lemarinya. Keterkejutanku
bertambah saat kulihat ada beberapa inhaler dan pendeteksi tensi dan detak
jantung.
Dengan tangan bergetar aku menutup laci tersebut lalu
berbalik.
"Aaaaa" Aku mengelus dadaku perlahan menghilangkan
rasa keterkejutanku.
"Hei, menggeledah kamar orang tu salah satu pelanggaran
privasi. Lu tau pan" Dari nadanya yang sedikit menyiratkan kejengkelan
membuatku merasa sedikit menyesal.
"Maaf" Ucapku lirih. Aku melirik lemari yang tadi
kubuka dengan sedikit pancaran penasaran, tetapi terlalu takut tuk kutanyakan.
"Penasaran?" Dia mengambil berjalan menuju lemari
pakaiannya dan mengambil sepotong kemeja santai.
"Hah?" Aku berkata spontan, bingung.
Denin mengganti baju basahnya dengan kemeja yang baru dia
ambil. Sekilas, terlihat pada punggungnya luka seperti bekas jahitan.
"Itu bekas jahitan?" Tanyaku tanpa berfikir.
"Eh, maaf" Ucapku langsung.
"Aku penderita Leukemia Linfositik Akut, tapi sudah
tertanggulangi" Denin tersenyum, miris."Thanks for my brother,
actually"
"Itu sebabnya lu anemia?"
"Iya"
"Dan kak Rendy yang ngasi lu donor sumsum?"
"Sumsum dan trombosit" Denin memberikan penekanan
pada kata dan, seakan hal tersebut hal yang tak diinginkannya.
"Sebesar itukah rasa benci lu ke dia" Aku berucap
tanpa maksud untuk bertanya.
"Yuk turun, nyokap pasti udah nungguin kita" Tanpa
menungguku, Denin melenggang keluar dari kamarnya dan sepertinya segera menuju
dapur yang tergabung dengan ruang makan.
"Hhhh" Menekan rasa penasaran yang semakin
menjadi-jadi aku mengikutinya turun menuju ke arah yang sama dengannya.
---
Keluarga Wijaya *nama keluarga Rendy* hanya beranggotakan
empat orang jika masih ada Rendy. Dengan keberadaanku, Shantika, dan Ratna,
seharusnya hanya ada enam orang diruangan ini. Tetapi kulihat ada tujuh piring
yang tersedia serta sudah dipenuhi oleh makanan.
Dalam hatiku memang bertanya-tanya siapa gerangan satu orang
lagi yang dekat dengan keluarga Wijaya, hingga acara makan selesai, tak kunjung
aku mendapatkan jawaban. Tiba-tiba hatiku diliputi perasaan miris yang menusuk,
baru kusadari, jamuan tersebut disediakan khusus untuk Rendy, dan aku semakin
sadar akan satu hal...
Seberapa besarpun aku kehilangannya, keluarganya lebih
merasa kehilangan daripada aku dan sahabat-sahabatku.
"Tante, kami pulang dulu ya" Suara Shantika
mengembalikanku ke dunia nyata. Aku tersenyum pada ketiga anggota keluarga
Rendy dan bergegas meninggalkan rumah keluarga wijaya bersama Ratna dan
Shantika. Dalam mobil yang dikendarai Ratna, aku hanya melamun memikirkan hal
yang baru saja berlalu. Rasanya hanya dalam beberapa hari, duniaku runtuh
seketika. Berat? Tentu saja berat, tapi setidaknya kau masih dapat melanjutkan
hidup normalku. Tapi aku sedikit ragu, akankah hidupku akan normal setelah
ini....
---
"Tha... hey Samantha" Ratna menepuk pipiku pelan
dan mengembalikanku dari dunia mimpi.
"Enngghhtt.. Kita dimana?" Tanyaku yang tak begitu
familiar dengan tempat yang kini kami singgahi.
"Kebun buah Samantha sayaaang" Shantika menjawab
pertanyaanku dengan nada sedikit sewot.
"Yaaa! Gua pan kagak tau neng, namanya juga orang baru
bangun" Semprotku tak kalah sewot.
"Bisa baca pan didepan sono" Tunjuk Shantika pada
papan yang berada tak terlalu jauh dari tempat mobil yang kami tumpangi di
parkir.
"Hei, kalian mau terus berantem apa mau masuk
nih?" Ratna turun dari mobil dan menghampiri tempat pembayaran karcis
masuk.
"Jangan tinggalin guaaa" Aku segera membuka pintu
dan melompat turun.
"Eeh, gua juga jangan di tinggalin dong" Shantika
ikut melompat dan membanting pintu mobil yang membuatnya mendapatkan pelototan
dari Ratna.
"Mobil baru tuh!"
"Sorry kagak sengaja, salahin Samantha aja tuh"
Ucapnya seenaknya dan melenggang masuk perkebunan.
"Aiisshh, tu anak" Ratna melirik kesal.
Aku hanya dapat menahan cekikikanku dan mengikuti kedua
sahabatku untuk menikmati buah buahan yang bebas kami petik. Dari pintu masuk,
kami langsung dihadapkan pada rimbunan pohon-pohon apel yang berbuah lebat.
Mataku seketika melebar melihat betapa ranumnya buah buah apel tersebut.
"Gua mau yang ituuu" Suara Ratna yang seperti
merajuk membuatku menolehkan kepalaku.
"Ketinggian Na, yang lain aja ngapa?" Shantika
dengan cueknya mengambil buah yang rendah dan memakannya.
"Ah lu kagak ngebantu." Ratna menggembungkan
pipinya sembari masih menatap penuh harap pada buah apel yang tingginya lumayan
tak bisa kami jangkau.
Aku mendekati Ratna setelah sebelumnya mengambil sebuah kayu
yang lumayan panjang.
"Tangkep ya" Aku memberi aba aba sebelum menyodok
buah apel yang diinginkan Ratna.
"HUP!!" Ratna melompat sembari berseru saat
dirinya berhasil menangkap apel idaman(?)nya. "Huaaaa, Tha I love
youuuu" Teriaknya riang dan memakan buahnya.
"Yang lain kan sama aja Na" Ucapku saat meletakkan
kayu yang tadi kugunakan.
"Bodo amat" Ucapnya.
"Kekebun anggur aja yuk, bisa kenyang lama lama gua
disini." Shantika nyeletuk.
"Yuk" Aku dan Ratna menyetujui bersamaan, setelah
itu kami berpandangan dan tertawa terbahak bersama.
---
Banyak sekali anggur berwarna merah yang menggiurkan
tergantung di langit-langit kebun. Karena pohon anggur sifatnya merambat, maka
dibuatkan sejenis terowongan dari kayu yang berfungsi sebagai tempat anggur
anggur ini tumbuh. Kami bertiga memetik anggur-anggur dan segera memakan buah
segar ini dengan lahap. Berhubung kebun buah ini berada dikawasan gunung, jadi
buah buahnya terasa benar benar segar seperti sengaja didinginkan.
Selagi asiknya kami menikmati anggur, aku melihat sesosok
yang sepertinya sekidit familier dimataku. Dan saat wajahnya menatap kearah
kami bertiga, aku baru sadar, dia persis seperti seseorang yang sudah beberapa
minggu tak kujumpai dan kukira takkan pernah kujumpai...
"Rendy..."
Bersambung....
No comments:
Post a Comment