Dengan segala letih dan resah yang coba tak kuindahkan beberapa hari ini. Hanya membuka sesuatu yang terdalam dan paling terlarang dari relung hatiku. Entah sejak kapan rasa ini bercokol dalam darah dagingku. Entahlah. Akupun tak menyadarinya.
Setiap kali aku mencoba menahan perih pada mataku agar tak meneteskan kristal bening, aku menipu diriku. Menipu diriku dengan segala harapan dan keinginan dari mimpi yang tak tercapai. Betapa naifnya jiwa rapuh ini.
Berharap pada sesuatu yang seharusnya kumiliki. Berharap akan segala kasih sayang yang tak pernah tercurah. Berharap akan segala sentuhan lembut yang tak pernah diberikan. Kehangatan yang membeku bahkan sebelum aku tahu apa itu kehangatan.
Mentari yang seharusnya terbit hingga relung jiwaku, terbenam bahkan sebelum menyentuh pucuk pepohonan. Masih baru, masih segar dalam ingatanku segala kesakitan dan luka yang tertoreh pada hati dan jiwaku. Menghancurkan apa yang memang sudah rapuh, tanpa menyisakan sedikitpun memori indah.
Pengaharapan palsu yang terus kuimpikan. Tanpa mengindahkan luka yang takkan pernah mengering, yang selalu terbuka semakin lebar setiap melihat kenyataan yang semakin jelas. Satu luka. Hanya satu luka dalam hidupku. Luka yang lebar dan akan terus melebar. Tanpa sedikitpun harapan yang bisa menyembuhkannya. Hanya sentuhan yang selalu kuidamkan, yang takkan pernah terwujud. Tersesat dalam wilayah imajinasi dan metafora entah dimana.
Bahkan seseorang yang kuharapkan dapat menggantikan kasih sayang yang seharusnya kudapatkan dari mereka, hanya semu belaka. Saat aku menganggap semuanya sempurna, segalanya hilang dalam sekejap. Tak memberiku kesempatan untuk merekam kebahagiaan yang sempat kurasakan. Walau hanya sekejap.
Sesuatu yang kuanggap kedamaian dan ketentraman yang kudapat. Perasaan ketertarikan, yang meskipun terlarang, menyejukkan dan menenangkan. Sesuatu yang kuanggap sebagai pengganti kasih sayang yang seharusnya mereka berikan, perlindungan dalam hati yang seharusnya didapatkan oleh seseorang yang seharusnya ku panggil keluarga, ternyata adalah semu. Ketika kekosongan dan kesepian kembali merayapi reung terdalam jiwa yang rapuh.
Kusadari segalanya bukan hanya ketertarikan, melainkan cinta yang sejenak ku anggap berbalas. Perasaan yang ku yakin sama ketika terengkuh dalam pelukan, tersentuh oleh jemari, tercium oleh sang indra. Segalanya salah. Teramat salah.
Meski kusadari segalanya terlarang. Kehausan akan cinta dan kasih sayang membutakanku akan apa yang benar dan yang salah. Mencoba mengobati luka yang terbuka bahkan sebelum kudapat menyebutkan kata sakit. Cause it feel so right when i know it is so wrong. Cerca yang kudapatkan tak surut membuatku kembali pada apa yang orang katakan benar. Kehilangan teman, sahabat. Karena bukan mereka yang kubutuhkan, melainkan kehangatan yang hanya bisa kudapatkan dari hal terlarang yang kurasa. Kukira.
Mentariku, kehangatanku. Belum sempat ku genggam, hanya tersentuh. Belum sempat ku peluk, hanya ku rengkuh. Menghilang. Meninggalkanku dengan kekosongan yang semakin menjadi. Luka yang semakin besar dan dalam. Memberikan penyesalan karena telah meninggalkan mereka yang peduli. Meski pada akhirnya segalanya kembali pada yang seharusnya, takkan ada yang sama.
Hatiku takkan sama. Perasaan bersalahku menjadi momok dalam persahabatan. Karena ketika sesuatu berubah, takkan ada yang bisa terulang. Kenangan manis yang selalu terulang dalam memori, menambah dalam setiap goresan yang kumiliki. Kenyataan dalam lingkaran terdalam, membuatku semakin terpuruk dalam perasaan dan keputusasaan. Karena mereka hanya peduli pada luarku, bukan dalamku.
Ketika kesejukan yang akhirnya teraih dalam rengkuhanku, dia pergi dan meninggalkan magma membeludak dan sebaris kenangan indah, namun pahit. Karena dia yang kubutuhkan menghilang dalam sekejap mata. Karena mereka yang berusaha mencegah hanya membawaku dalam jurang kesunyian. Penuh duri dan kaca.
Setiap kutahan kristal yang nyaris meluncur, rasa sakit teramat sangat menusukku. Karena aku tahu, ketika kristal tersebut pada akhirnya berhasil meluncur dan membanjir, hanya sampai sana harapanku, hanya sampai sana benteng kuat namun rapuhku berakhir.
Yang kubutuhkan bukanlah penopang, melainkan kesembukan akan segala luka dalam memanjang. Yang kubutuhkan bukanlah companion, melainkan air sejuk yang tenang, air penyembuh.
Takut. Aku takut ketika pertahananku runtuh, diriku yang dulu akan kembali. Diriku yang di benci oleh semua orang, diriku yang tak bisa dimengerti bahkan oleh diriku sendiri. Diriku yang kelam dan menyedihkan. Bukan berarti sekarangpun tidak. Aku takut kehilangan akan sesuatu yang belum kumiliki. Entah sampai mana pertahananku akan bersigap. Entah kapan aku akan sampai pada ujung batasku.
Karena lukaku tak tersembuhkan.
Karena lukaku sudah ada sejak sebelum aku tahu apa arti luka yang sesungguhnya.
No comments:
Post a Comment