Warning : Cerita agak monoton dan ide sudah sering dipakai,
latar kehidupan sehari-hari yang agak dimodifikasi, sistem sekolah memakai
sistem sekolah musik-umum ^^ , dan karena ini cerpenku, terserahku yah mau
bikin sekolahnya kayak gimana, juga ini imajinasiku, jangan protes soal itu
------
Samantha namaku, kini aku duduk dikelas 2 SMA, baru tiga
hari aku duduk dikelas 2 ini, aku sudah merasa betah dengan teman-teman
sekelasku. Meskipun tidak ada yang terlalu dekat denganku. Aku memiliki 2
sahabat yang memiliki kelas yang berbeda denganku, aku sendiri yang terpisah
karna aku memilih jurusan Ilmu Pengetahuan Umum-Sosial sedangkan kedua temanku
memilih jurusan Ilmu Pengetahuan Musik. Karena tahun ajaran yang baru saja
dimulai, kesibukan belajar belum terlalu padat, dan acara MOS (Masa Orientasi
Siswa) masih berlangsung untuk para juniorku.
Mengasingkan diri, aku terdiam di ruang musik sembari
melihat kesekeliling, takut-takut ada yang memergokiku, bukan karna siswa biasa
dilarang memasuki ruangan ini, tapi karna aku malu jika ada yang melihatku.
Kututup pintu dan mulai melangkah ketengah ruangan. Kuturunkan tas kecil yang
sedari tadi kutenteng dan kubuka serta kukeluarkan isinya. Sebuah flute putih
dengan ukiran elegan. Dengan perlahan kudekatkan ujung flute itu kebibirku dan
kutiup, jari-jariku bermain lincah membuka dan menutup lubang-lubang yang ada
pada flute tersebut.
Kumainkan nada lembut yang tak beraturan tetapi masih bisa dinikmati, setiap merasa resah, aku sudah terbiasa memainkan nada ciptaanku sendiri tanpa berusaha mengingat guna memainkan lagu yang memang sudah ada. Tanpa terasa air mata menetes pelan dari kedua mataku. mengaliri pipiku yang tak mengenakan riasan apapun. Kubiarkan sungai kecil itu terus membentuk, bahkan semakin deras. Aku tak peduli, yang penting aku dapat melampiaskan semua rasa pedihku.
Kumainkan nada lembut yang tak beraturan tetapi masih bisa dinikmati, setiap merasa resah, aku sudah terbiasa memainkan nada ciptaanku sendiri tanpa berusaha mengingat guna memainkan lagu yang memang sudah ada. Tanpa terasa air mata menetes pelan dari kedua mataku. mengaliri pipiku yang tak mengenakan riasan apapun. Kubiarkan sungai kecil itu terus membentuk, bahkan semakin deras. Aku tak peduli, yang penting aku dapat melampiaskan semua rasa pedihku.
Aku kembali teringat kejadian kemarin, yang mungkin tak akan
kulupakan...
-Flashback-
"Rendy, please hear me" Aku berkata, memohon.Meski
kutahu dia takkan bisa mendengarku. Kutatap sosoknya yang terlihat begitu lemah
dan matanya yang terpejam.
"Ayo Ren! Lu pasti kuat, ayo pleaseee" Nadaku
semakin terdengar putus asa. Kembali kutatap nanar, sosok yang selalu
melindungiku, yang selalu menjadi sosok kakak bagiku. Yang diam-diam
kukagumi.Kugenggam tangannya yang dingin dengan lembut. Berusaha mencari denyut
nadinya yang lemah, berusaha meyakinkan diriku, dia masih hidup.Tak kuat, aku
menangkupkan wajahku pada sisi tempat tidur yang ditidurnya.
"Tha.." Terdengar suara lirih yang membuatku
kembali mendongakkan wajahku.
"RENDY!! Lu sadar Ren!! Ren please jangan tinggalin gua
Ren, gua butuh lu disini." Ucapku sembari menatap matanya dalam. Air
mataku tak kunjung berhenti mengalir.
Tangannya perlahan terangkat ingin menghapus air mataku. Aku
terenyuh merasakan lembut tangannya, merasakan betapa ringkihnya dia sekarang.
"Gua panggilin suster ya Ren?" Aku tak kuasa
mengalihkan pandanganku dari tatapan lemahnya.
"Ga usah Tha... Ga perlu lagi.." Ucapnya lemah.
Matanya semakin terlihat sayu.
"Lu ngomong apa sih? Udahlah ga usah ngomong
macem-macem, gua panggilin suster ya?" Ucapku mulai panik, terlebih karna
ucapannya yang mulai terdengar putus asa.
"Jaga diri lu baik-baik Tha, inget, gua sayang sama
kalian bertiga" Ucapnya sebelum menutup mata. Hampir aku histeris kembali
sebelum tersadar bahwa alat pendeteksi jantungnya masih menyala, masih
menandakan kehidupan.
"Please Ren, jangan tinggalin gua, jangan tinggalin
kita." Isakku semakin pilu.
Kleekk
Suara pintu yang terbuka membuatku membalikkan badan untuk
melihat siapa yang datang. Ratna dan Shantika. Kedua sahabatku yang sama-sama
dianggap adik oleh Rendy. Kami berempat memang sudah sangat dekat sampai-sampai
terkadang aku lupa bahwa kami hanya bersahabat, bukan saudara kandung.
Aku lihat kedua wajah yang tak kalah lesu dariku, meski tak
tampak ada bekas titik-titik air mata.
"Makan dulu Tha, nanti lu sakit" Ucap Shantika.
Diantara kami bertiga, memang aku yang paling dekat dengan
Rendy, dan sepertinya mereka berdua memaklumi kekalutanku saat ini.
"Rendy ga bakal suka liat lu kayak gini, Tha" Ratna
menimpali.
"Gua ga perlu makan, yang gua perluin cuma kesembuhan
Rendy" Ucapku lemah.
"Ayolah makan dulu" Ratna kembali berusaha
membujukku.
"Tap...."
TIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIITTTTTT
Sebuah suara yang belakangan selalu membayangi mimpi burukku
terdengar. Serentak kami bertiga menolehkan kepala kami guna melihat alat
pendeteksi jantung yang terletak tepat disebelah tempat tidur yang Rendy
tempati. Alat tersebut menampakkan sebuah garis lurus berwarna merah,
menandakan......
BRUUUKKK
Serentak, Ratna dan Shantika menolehkan kepala mereka kearah
asal suara tersebut. Samantha pingsan. Ratna dan Shantika yang bingung harus
melakukan apa, jatuh terduduk secara bersamaan dan menangis histeris.
-Flashback End-
Nada yang kumainkan semakin cepat dan semakin terdengar
pilu, sebisa mungkin aku melampiaskan semua kesedihanku pada musik yang
kumainkan. Bahkan aku sampai tak sadar ada seseorang yang sedang mengamatiku
disisi daun pintu.
Secara tiba-tiba, aku menurunkan kedua tanganku dengan satu
tangan yang masih menggenggam flute kesayanganku. Kududukkan diriku asal
dilantai ruangan yang berdebu, dengan masih terisak.
Tap..
Tap..
Tap..
Suara langkah kaki yang mendekat mengembalikanku dari
duniaku. Aku tak perlu menoleh untuk mengetahui siapa yang menghampiriku,
karena aroma cologne yang sudah sangat kukenal semakin terasa dekat.
"Tinggalin gua sendiri" Ucapku dingin. Suara
langkah kaki yang tadi hendak mendekatikupun terhenti. Dari sudut mataku, dapat
kulihat sosok tersebut berdiri dengan sebelah tangan yang dia masukkan ke saku
celananya.
"Seorang yang rapuh selalu membutuhkan teman. Biarin
gua buat nyoba ngilangin perihmu, Tha.." ucap sosok tersebut, dari
nadanya, tersirat permohonan
"Denger," Kataku tajam. "Gua cuma butuh waktu
buat sendiri, so gua minta lu buat ninggalin gua disini sendiri." Ucapku
dengan nada bergetar, sehabis menangis.
Tap..
Tap..
Tap..
Terdengar langkah kakinya kembali mendekat. Dan kulihat dia
menghempaskan tubuhnya tepat disampingku.
"Gua tahu gua bukan Rendy, dan gua tahu lu lagi sedih,
gua juga ngerasain hal yang sama." Ucapnya lirih.
Setitik rasa sesal muncul dihatiku, telah berkata dengan
nada tajam padanya. Tetapi kembali, egoku mengambil alih.
"Sedih gua dan sedih lu itu dua hal yang berbeda, meski
kalian saudara, gua ga pernah lihat kalian akur, gua ga bener-bener yakin lu
sedih dia pergi" Kulihat dia tersentak akan ucapanku, akupun juga
terkejut, tak sadar kata-kata kasar akan keluar dari bibirku secara mulus.
Kulirik sosoknya yang mengalihkan pandangannya kesamping, hingga tak bisa
kulihat mimiknya.
"Lu bener" Ucapnya lirih, aku kembali tersentak.
Tak menyangka dia benar-benar menanggapi ucapanku. "Lu bener gua ga
terlalu sedih dia pergi... Tapi gua nyesel, ga pernah nyoba deket sama kakak
gua sendiri" Kutolehkan kepalaku kesamping, untuk dapat benar-benar
melihatnya. Dia mendongakkan kepalanya memandang langit-langit, menerawang.
"Bahkan mungkin lu lebih kenal dia daripada gua sendiri" Ucapnya
semakin lirih.
"Rendy sayang lu" Tanpa sadar kuucapkan kata-kata
yang tak pernah bisa disampaikan Rendy pada adik satu-satunya ini. Entah karena
masalah apa, mereka tak pernah dekat, bahkan akur. "Dia bener-bener sayang
lu"
"Hahaha" Dia tertawa, miris, menyayat. "Rendy
sayang gua? KAK Rendy sayang gua?" Katanya dengan penekanan pada kata
'kak'. "Yang bener aja" sambungnya, lebih pelan daripada suara
sebelumnya.
"Terserah lu mau percaya apa kagak, itu yang biasanya
dia bilang. Dan dia kagak pernah mau dibenci sama lu" Ucapku, tentunya
sambil memutar ulang perkataan Rendy padaku.
"Denin adek lu?" Tanyaku syok.
"Iya, dia adik gua, adik yang ga pernah bisa gua
dapetin" Rendy tersenyum menatap kami bertiga.
"Maksudnya?" Ratna memandang Rendy tak mengerti.
"Dia membenciku, tanpa aku tahu alasannya,"
Ujarnya sembari masih tetap tersenyum. "Tapi aku sangat
menyayanginya."
Selalu, setiap membicarakan adiknya, tatapan dan bahasanya
menjadi lembut... Rasa sayangnya sangat dapat kami rasakan..
Kembali kualihkan tatapanku kedepan, sambil meliriknya
dengan tatapan ganjil. "Entahlah, terserah dirimu sajalah" Ucapnya
santai.
Aku melongo, bukan karna kata-kata yang dia ucapkan, tetapi
bahasa yang dipakainya. Segera aku menggelengkan kepalau pelan agar tak
terlihat seperti orang bodoh, -meski aku bukan termasuk orang yang pintar-.
"Tanyakan aku satu alasan untuk membencinya, maka kau
akan dapat lebih dari itu" Ujarnya kembali, lirih. Matanya kembali
menerawang.
"Kenapa?"
"Hmm?"
"Kenapa lu ga nyoba buat deket sama kakak kandung lu
sendiri?"
"Karna gua ga pengen"
"Sesimple itu?"
Denin hanya mengulum bibirnya dan menerawang -lagi-. Sorot
matanya benar-benar membuatku khawatir. Secara tak sadar aku menggenggam
fluteku lebih keras dari yang seharusnya, mengingatkanku akan keberadaan benda
tersebut. Kunaikkan flute ku hingga sejajar dengan bibirku, aku mulai mengambil
posisi untuk memainkan irama. Kali ini, kuputuskan untuk memperdengarkan laguGift
of a Friend yang entah mengapa rasanya cocok untuk saat ini.
Denin hanya memandangiku yang memainkan melody lagu yang
populer di sebuah film klasik. Tanpa sadar, air mata kembali mengalir dari
sudut mataku. Rasa sesak yang tadi sempat hilang kembali datang. Ini memang
lagu kenangan yang ditinggalkan Rendy, aku ingat dulu dia sangat menyukai lagu
ini dan hampir selalu memperdengarkannya disetiap kesempatan. Sebelum melody
benar-benar selesai, aku sudah tak kuat untuk menahan isakanku, aku terisak
sembari membungkukkan tubuhku yang terlebih dahulu sudah berlutut dilantai
ruangan yang berdebu ini.
Denin menopang tubuhnya dengan salah satu kakinya dan
bersimpuh dihadapanku. Mengusap kepalaku. Tangisku semakin keras, mengingat
perlakuannya sama persis seperi perlakuan Rendy padaku. Untuk pertama kalinya,
aku memperlihatkan sisi lemahku pada orang lain selain Rendy, bahkan yang bukan
teman terdekatku.
-Skip time-Hari pemakaman-
Suasana yang kelam dan mencekam mewarnai rumah duka. Ibu
dari Rendy menangis didalam pelukan suaminya, sedangkan adiknya hanya menatap
nanar pada peti yang menyimpan tubuh kakaknya. Aku hanya bisa menahan diriku
sendiri untuk tidak melompat kedalam tanah basah itu. Nyanyian-nyanyian
penghantarpun dilantunkan, isak tangis semakin terdengar, membuatku semakin
sulit untuk menahan histerisku. Ratna dan Shantika berdiri disisiku sembari
mengelus punggungku. Kutatap Denin yang berdiri tepat dihadapanku, kini aku
yakin, dia pun merasa kehilangan, sama seperti yang lain, bahkan mungkin
kehilangan yang lebih besar.
…
Rumah duka yang terlihat asri dan mewah dari luar, sangat
mencekam didalamnya. Aku duduk dipinggir kolam ikan yang terdapat dihalaman
samping rumah itu, dengan Denin yang menyamankan diri dirumput.
“Gua baru sadar” Ucapku lirih, lebih pada diriku sendiri.
“Hmm..?” Denin mengeluarkan gumaman heran.
Aku hanya menoleh, menatap wajahnya, matanya. Mata yang sama
dengan Rendy, mata yang ternyata kurindukan. Setelah lama tak kujawab, Denin
berdiri dan duduk disebelahku. Dia menepuk pundakku pelan dan menengadah.
“Jangan sungkan mau cerita sama gua. Gua tau gua bukan Rendy
dan gua nggak akan bisa ngegantiin posisinya, tapi setidaknya lu bisa ngurangin
beban lu.” Dia menatapku, menatapku dalam dengan mata itu.
“Ya..” Aku balas menatapnya. “Thanks”
Dia tersenyum dan bangkit berdiri, akupun ikut berdiri untuk
berjalan mengikutinya. Mungkin melepaskan penat dengan mengelilingi halaman
rumah yang luas ini merupakan ide yang bagus, sekalian aku dapat mengenangnya,
mengenang Rendy.
“Jadi.. Apa yang baru lu sadari?” Dengan pandangan yang
tetap lurus kedepan, melangkah pelan didepanku.
“Gua…” Lidahku kelu untuk mengucapkannya, takut.. Takut
hatiku dan pikiranku salah, takut yang kurasakan hanyalah kekalutan semata,
kehilangan semata. “Gua baru sadar kalau.. gua cinta Rendy.” Akhirnya kalimat
pengakuanku yang terlambat terucap juga dari bibirku. Pengakuan yang sangatlah
terlambat…
Bersambung...
Kalau ada kekurangan mohon dikoreksi ^^
No comments:
Post a Comment